Salam
cerdas…..
Pada awal kemerdekaan, pemerintah dan bangsa Indonesia mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang dualisme, yaitu sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum bercorak sekuler, tak mengenal ajaran agama, yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda dan sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Islam sendiri. Kedua sistem pendidikan tersebut sering dianggap saling bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain.
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) mengusulkan “hendaknya diadakan satu macam sekolah untuk segala lapisan masyarakat atau mengintegrasikan kedua sistem pendidikan warisan budaya bangsa tersebut”, yaitu pemberian pengajaran agama secara teratur dan seksama di sekolah-sekolah yang bersifat sekuler dan netral terhadap agama serta bercorak kolonial. Sehingga menjadi sekolah-sekolah yang bersendi agama dan kebudayaan bangsa, sebagaimana dikehendaki oleh pendiri bangsa dan negara ini. Sedangkan pemberian tuntunan dan bantuan kepada madrasah dan pesantren-pesantren dimaksudkan agar lembaga pendidikan Islam mampu meningkatkan usaha dan peran sertanya sebagai alat pendidikan dan pencerdasan kehidupan bangsa serta mampu berkembang dan mengadakan pembaharuan secara terintegrasi dalam satu pendidikan nasional.
Kenyataan yang demikian timbul karena kesadaran umat Islam yang dalam, setelah sekian lama terpuruk di bawah kekuasaan penjajah. Sebab pada zaman penjajahan Belanda pintu masuk pendidikan modern bagi umat Islam terbuka secara sangat sempit. Dalam hal ini, minimal ada dua hal yang menjadi penyebabnya, yaitu:
a. Sikap dan kebijakan pemerintah kolonial yang amat deskriminatif terhadap kaum muslimin.
b. Politik non kooperatif para ulama terhadap Belanda yang memfatwakan bahwa ikutserta dalam budaya Belanda, termasuk pendidikan modernnya, adalah suatu bentuk penyelewengan agama. Mereka berpegangan pada salah satu hadist nabi Muhammad saw yang artinya “barang siapa menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk ke dalam golongan itu” hadis tersebut melandasi sikap para ulama pada waktu itu.
Di tengah-tengah berkobarnya revolusi fisik, pemerintah tetap membina pendidikan agama. Khusus untuk mengelola pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah umum tersebut, maka pada bulan Desember 1946, dikeluarkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama, yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama pada sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta), yang berada di bawah kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Maka sejak itulah terjadi dualisme (dikhotomi) pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Di satu pihak, Departmen Agama mengelola semua jenis pendidikan agama baik di sekolah-sekolah agama maupun di sekolah-sekolah umum. Di pihak lain, pihak Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengelola pendidikan pada umumnya dan mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional. Kejadian seperti ini sempat dipertentangkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak senang dengan pendidikan agama terutama golongan komunis, sehingga ada kesan seakan-akan pendidikan agama khususnya Islam, terpisah dari pendidikan.
Selanjutnya pendidikan agama diatur secara khusus dalam UU Nomor 4 tahun 1950 pada BAB XII Pasal 20, yaitu:
a. Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
b. Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.
Pada tahun 1958, pemerintah mendorong untuk mendirikan madrasah negeri dengan ketentuan kurikulum 30% pelajaran agama dan 70% untuk pelajaran umum. Dalam perkembangannya, kurikulum pendidikan agama dari waktu-kewaktu senantiasa mengalami perubahan seiring dengan kemajuan zaman. Semua ini dilakukan adalah dengan tujuan peningkatan kualitas pendidikan agama di lembaga pendidikan agama dan menghilangkan pengaruh dikotomi dalam dunia pendidikan Islam selama ini di Indonesia.
Menyangkut upaya membangun pendidikan Islam secara terpadu untuk mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Pendidikan Islam di beberapa negara Islam yang mayoritas penduduknya beragama Islam termasuk Indonesia tidak lebih dari duplikasi terhadap pendidikan di negara negara Barat sekuler. Dengan demikian produk sistem pendidikan Barat tidak mungkin menjadi atau berupa alternatif. Karena itu, tantangan yang mendasar bagi pendidikan Islam saat ini adalah mencari sistem pendidikan alternatif sebagai sintesa dari berbagai sistem pendidikan yang pernah ada. Bagaimana wujud sintesa tersebut yaitu perlunya pendidikan Islam yang lebih menitikberatkan pada aspek afektif seimbang dengan segi kognitif, serta memadukan secara harmonis pendidikan formal, non formal dan informal.
Belum ada tanggapan untuk "Sejarah Pendidikan Islam Indonesia Pada Masa Orde Lama"
Post a Comment