Search This Blog

Tradisi Keilmuan Pesantren atau Pola Keilmuan Pesantren

Salam cerdas…..

Pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak-kontak pribadi maupun kolektif antara mubaligh (pendidik) dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim terbentuk di suatu daerah tersebut tentu, mereka membangun tempat peribadatan dalam hal ini masjid. Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama muncul di samping rumah tempat kediaman ulama atau mubaligh. Setelah itu muncullah lembaga pendidikan lainnya seperti pesantren, dayah, ataupun surau dan meunasah. Nama-nama tersebut walaupun berbeda, tetapi hakikatnya sama yakni sebagai tempat untuk menuntut ilmu pengetahuan keagamaan. Perbedaan nama itu hanya dipengaruhi oleh perbedaan tempat.

Inti dari pesantren itu adalah pendidikan ilmu agama, dan sikap beragama. Karenanya mata pelajaran yang diajarkan semata-mata pelajaran agama. Pada tingkat dasar anak didik baru diperkenalkan tentang dasar agama, dan Al-Qur’an Al-Karim. Setelah berlangsung beberapa lama pada saat anak didik telah memiliki kecerdasan tertentu, maka mulailah diajarkan kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik ini juga diklasifikasikan kepada tingkat dasar, menengah dan tinggi. Mahmud Yunus membagi pesantren pada tahap-tahap awal iru kepada empat tingkatan, yaitu: tingkat dasar, menengah, tinggi, dan takhassun. Sejak awal pertumbuhannya, fungsi utama pondok pesantren adalah: (1) menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih dikenal dengan tafaqquh fiddin, yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat Islam. Kemudian diikuti dengan tugas (2) dakwah menyebarkan agama Islam dan (3) benteng pertahanan mata dalam bidang akhlak. Sejalan dengan fungsi hal ini, materi yang diajarkan dalam pondok pesantren  semuanya terdiri dari materi agama yang diambil dari kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab.

Usaha untuk mengidentifikasi pesantren dilakukan juga oleh Kafrawi. Ia mencoba membagi pola pesantren menjadi empat pola, yaitu:

a.   Pesantren pola I ialah pesantren yang mempunyai unit kegiatan dan elemen berupa masjid dan rumah kiai. Pesantren ini masih sederhana. Kiai mempergunakan masjid atau rumahnya untuk tempat mengaji biasanya santri datang dari daerah sekitarnya, namun pengajian telah diselenggarakan secara kontinyu dan sistematik. 
b.   Pesantren pola II sama dengan pola I ditambah adanya pondokan bagi santri.
c.  Pesantren pola III sama dengan pola II tetapi ditambah adanya madrasah. Jadi pesantren pola III ini telah ada pengajian sistem klasikal.
d. Sedangkan pesantren pola IV ialah pesantren pola III ditambah adanya unit keterampilan seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah, ladang, dan lain-lain.

Sejarah pada awal dan pembentukan dan pendirian pesantren tidak dilakukan sekaligus sebagaimana pembangunan satu kompleks perkantoran atau sekolah, akan tetapi biasanya dimulai dari pengajian-pengajian kecil di masjid-masjid atau di mushola yang disampaikan oleh seorang kiai yang memiliki keahlian di salah satu fakultas pengetahuan agama Islam. Kiai tersebut biasanya sudah pernah bermukim bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun di Mekkah/Madinah, atau pernah mengaji kepada seorang kiai terkenal di tanah air.

Kemudian ketika pulang ke daerahnya mereka mentrasformasikan pengetahuan tentang ilmu-ilmu agama yang didapatkan kepada masyarakatnya. Semula pengajian hanya berisi pengajian-pengajian yang berisi pemahaman keagamaan yang berkenaan dengan aspek-aspek ibadah ritual, seperti shalat, berwudhu yang baik, dan sedikit penyampaian tentang tata karma dan etika dalam masyarakat. Pengajaran yang berlangsung di masjid dan mushola-mushola, kadang dilakukan secara bergiliran dengan pindah-pindah tempat. Pengajarannya tidak pernah mengenal istilah “bayaran” untuk menggaji. Seluruh kiai yang mengajar karena motivasi awal dalam pengajaran ini adalah semata-mata untuk menyebarkan agama Islam.

Bagi mereka yang berasal dari dekat biasanya berangkat mengaji dari rumah mereka namun bagi mereka yang berasal dari luar daerah yang cukup jauh biasanya atas dasar kesadaran sendiri mendirikan bangunan-bangunan sederhana di seitar masjid atau surau untuk dijadikan tempat bermukim. Tempat bermukim inilah yang disebut sebagai pondok atau pondok pesantren sedangkan mereka yang belajar disebut dengan istilah santri mukim sedangkan santri yang pulang pergi dari rumah mereka disebut dengan istilah santri kalong.

Para santri biasanya berusia antara 12 sampai 25 tahun namun bukan berarti tidak ada santri yang berusia di bawah ataspun di atas batasan tersebut. Mereka yang berada di bawah umur 12 tahun biasanya masuk di pesantren-pesantren khusus yang menitikberatkan pada pendidik anak-anak sedangkan yang diatas usia 95 tahun biasanya masih di pesantren khusus thariqah. Para santri biasanya mengaji kepada kiai di masjid atau surau dengan membawa kitab kuning. Sistem pengajian semacam ini biasa disebut sebagai pengajian bandongan atau wetonan, dimana kiai mengartikan kata demi kata dan para santri secara keseluruhan mengartikan kitab yang dibacakan dan mendengarkan keterangan yang diulas oleh kiai.

Setelah datangnya kaum penjajah Barat (Belanda), peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam semakin kokoh pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang reaksional terhadap penjajah. Karena itu, di zaman Belanda sangat kontras sekali pendidikan di pesantren dengan pendidikan di sekolah-sekolah umum. Pesantren semata-mata mengajarkan ilmu-ilmu agama sekali tidak semata-mata mengajarkan ilmu-ilmu agama lewat kitab-kitab klasik, sedangkan sekolah umum Belanda sama sekali tidak mengajar pendidikan agama. Sistem pendidikan pesantren metode, sarana fasilitas serta yang lainnya masuk sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah Kolonial Belanda, Non Klasikal, metodenya sorongan, watonan hafalan.

Dalam perkembangan berikutnya pesantren mengalami dinamika, kemampuan dan kesediaan pesantren untuk mengadopsi nilai-nilai baru akibat modernisasi, menjadi pesantren berkembang dari yang tradisional ke moderatan. Karena itu hingga saat sekarang pesantren tersebut dibagi dua secara garis besar. Pertama pesantren salafi dan yang kedua khalafi. Pesantren salafi adalah pesantren yang masih terikat dengan sistem dan pola lama, sedangkan pesantren khalafi adalah pesantren yang telah menerima unsur-unsur pembaruan. Hingga saat ini perbedaan itu, masih nampak dalam kurikulum yang digunakan di setiap pesantren di Indonesia.



Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Tradisi Keilmuan Pesantren atau Pola Keilmuan Pesantren"

Post a Comment