Salam cerdas…..
Sejak awal abad XVIII kekuasaan Islam Mongol
yang berpusat di Delhi semakin merosot. Lemahnya kemampuan serta kewibawaan
sultan tidak dapat mengahalangi kehendak para amir akan melepaskan diri dan
berkuasa penuh di wilayah mereka. Selain itu kaum Brahmana mulai bergerak ingin
membangun kembali kerajaan Hindu. Rakyat Maratha yang sebelumnya telah
berulang kali memberontak dan bergerilya, akhirnya berhasil membebaskan diri dan
mendirikan kerajaan Hindu yang merdeka di India Barat. Demikian pula golongan
Sikh memenangkan pemberontakannya.
Bangsa Inggris semenjak permulaan abad XVII
telah tiba di India sebagai pedagang dengan angkatannya yang bernama “The
East India Company.” Mengetahui pertentangan-pertentangan antara sesama
wilayah bawahan kesultanan Islam di satu pihak, dan antara Kesultanan Islam dan
bekas kerajaan Hindu sebagai taklukannya di pihak lain, akhirnya bangsa Inggris
melaksanakan politik mengail di air keruh. Selera mereka tumbuh hendak
menguasai wilayah, terutama di sekitar pabrik-pabrik yang telah mereka dirikan.[1]
Dengan politik adu domba yang lihai, mereka
berhasil. Madras dikuasai pada tahun 1639. Kota Bombay tahun 1660 jatuh pula ke
tangan mereka. Demikianlah selanjutnya dengan kekuatan bedil, politik adu-domba
dan senjata uang, dilumpuhkannya kekuasaan hakiki kesultanan Islam Mongol.
Walupun sesekali memberontak, tetapi tetap bisa dikalahakan oleh Inggris. Hal
yang sama diderita pula oleh raja-raja Hindu, seperti kerajaan Maratha, yang
mencoba melawan Inggris pada tahun 1817-1818.
Sayyid Ahmad dengan golongan Mujahidinnya
mencoba memulai peperangan terhadap golongan sikh di India Utara. Peperangan
ini berbuah kemenangan pada kelompok Mujahidin, mereka dapat menguasai Akora
yang merupakan pusat kekuatan golongan Sikh. Ide yang dimunculkan oleh Sayyid
Ahmad ialah merubah sistem pemerintahan dari monarki kepada sistem imamah,
yaitu negara dipimpin oleh seorang imam.
Sistem pemerintahan imamah dibentuk pada
tahun 1827, dalam menjalankan tugasnya, imam mengangkat seorang khalifah
sebagai wakilnya di kota-kota penting. Diantara tugas mereka yaitu mengumpulkan
zakat utnuk pemerintahan imam dan mencari mujahidin untuk meneruskan jihad.
Namun, sistem imamah yang didirikan oleh
Sayyid Ahmad tidak bertahan lama, golongan Sikh menganggap gerakan Mujahidin
mengancam kekuasaan mereka. Golongan Sikh di bantu oleh golongan-golongan non
muslim seperti golongan Barakzai melangsungkan pertempuran di Balekot dan pada
pertempuran inilah Sayyid Ahmad mati terbunuh.[2]
Menurut Harun Nasution setelah meninggal
Sayyid Ahmad, para pengikutnya terpecah menjadi dua golongan. Golongan pertama
mereka bergerak di bidang pendidikan dengan mendirikan madrasah deoband,
golongan ini berpendapat tidak cukup kekuatan untuk melanjutkan perjuangan. Namun
demikian, madrasah deoband banyak memberikan pengaruh terhadap pembaharuan
islam India dengan lahirnya tokoh-tokoh terkenal.
Sepeninggalan Sayyid Ahmad Syahid, gerakan
intelektual melawan kolonial Inggris terus dilakukan oleh para pengikut Sayyid
Ahmad Syahid. Pada tahun 1857 madrasah Deoband melalui Mawlana Muhammad Qasim
Nanantawi dan Mawlana Ishaq, seorang cucu dari Syah Abdul Aziz ditingkatkan
menjadi perguruan tinggi.
Ide-ide Syah Waliullah yang kemudian
ditonjolkan oleh sayyid Ahmad Syahid dan gerakan Mujahidin, itulah menjadi
pegangan bagi Deoband.
Ide-ide itu meliputi:
1) Bidang agama, pemurnian ajaran Islam India
dari paham-paham salah yag dibawa tarekat dan dari keyakinan animisme lama dan
pemurnian dari perkatek keagamaan seperti bid’ah.
2) Bidang politik dan pendidikan, Deoband
mengambil sikap anti Inggris. Sikap anti inggris ini dilator belakangi oleh
para pendiri deoband mayoritas pemuka gerakan mujahidin. Mereka mendirikan
deoband untuk menentang pendidikan sekuler inggris dan juga sebagai reaksi
terhadap usaha kristenisasi di India.
No comments:
Post a Comment