Pages

Thursday, December 8, 2016

Problematika Pendidikan Agama Islam dalam Dunia Globalisasi

Salam cerdas…..

Problem mendasar yang dihadapi masyarakat muslim di negara berkembang adalah keterbelakangan ekonomi sebagai akibat rendahnya tingkat kualitas pendidikan. Masalah pendidikan memang sangat kompleks sementara di sisi lain dominasi peradaban Barat yang sekularistik terus merajalela. Upaya mengejar ketertinggalan dari barat yang sekularistik terus merajalela. Upaya mengejar ketertinggalan dari barat memang telah dilakukan. Hanya saja strategi pembangunan yang mengadopsi barat dan meletakkan model kapitalisme sebagai kiblat yang harus di tiru telah memberikan implikasi terciptanya masyarakat yang hedonis, individualis, dan materialistik. Negara-negara berkembang telah meletakkan unsur “kebendaan” sebagai tolak ukur keberhasilan dan kesuksesan hidup, predikat kesuksesan atau standar keberhasilan pada umumnya disandarkan hanya pada perhitungan materi belaka, jadi standar yang masih pada tataran yang dangkal dan materialis semata.

Dalam kondisi yang demikian, pendidikan Islam menghadapi persoalan yang cukup serius dan rentan terhadap terjadinya krisis nilai. Pola hidup materialisme di tengah masyarakat dewasa ini tentunya sebuah tantangan berat bagi pendidikan Islam yang berkarekteristik balancing antara kepentingan dunia dan akhirat. Konsep pendidikan Islam hingga saat ini masih berusaha mencari jati diri, di satu sisi harus mempertahankan khazanah keilmuan keislaman di sisi lain harus dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern umat islam jauh tertinggal dari dunia barat. Padahal mereka telah menghasilkan banyak konsep dan teori yang terinspirasi oleh tokoh-tokoh ilmuan muslim.

Dalam konteks keindonesiaan, kualitas pendidikan Islam yang dalam hal ini pesantren dan madrasah masih jauh dari harapan. Oleh karenanya perlu adanya terobosan-terobosan baru untuk dapat berkompetisi di dunia global. Persoalan yang muncul adalah bagaimana dampak negatif  gobalisasi terhadap pendidikan islam dan upaya mengatasinya. Dan bagaimana memformulasikan pendidikan Islam dalam percaturan global.

Efek negatif dari globalisasi harus di hadapi oleh agama yang mendidik kearah perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan hidup. Kita semua faham bahwa persoalan internal pendidikan Islam sendiri, baik secara kelembagaan maupun keilmuan. Masih menghadapi persoalan-persoalan yang belum terpecahkan, dari persoalan manajemen, ketenagaan, sumber dana, infrastruktur dan kurikulum. Akibatnya mutu pendidikan Islam sangat rendah juga dibarengi oleh para pengelola pendidikan Islam tidak lagi sempat dan mampu mengantisipasi adanya tantangan globalisasi yang menghadang dihadapan. 

Efek negatif yang menyertai munculnya globalisasi yang harus dihadapi oleh pendidikan Islam, itu antaranya persaingan bisnis yang sangat ketat, nilai-nilai agama sudah bergeser dan kabur, dekadensi moral, pergaulan remaja yang cenderung bebas, kebutuhan hidup yang tinggi sehingga sering merusak kelembagaan keluarga, penyalah gunaan obat, minum-minuman keras, dan penyakit social lainnya.

Menghadapi problem yang demikian berat, pendidikan Islam tidak bias menghadapinya dengan model-model pendidikan dan pembelajaran seperti yang sudah ada sekarang ini. Pendidikan Islam harus terus menerus melakukan pembenahan dan inovasi serta bekerja keras untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dan juga melakukan langkah-langkah baru kearah kemajuan khususnya Sumber Daya Manusia.

Dari pengembangan keilmuan, dari berbagai problem yang muncul di atas, jelas tidak bisa direspon hanya dengan ilmu-ilmu yang selama ini di lembaga pendidikan Islam seperti fiqih, kalam, tasawuf, aqidah akhlak, tarikh.

Ilmu-ilmu tersebut di atas tidak mampu menjawab persoalan aktual pada lingkungan hidup seperti : global warming, datangnya industri, adanya pencemaran limbah beracun, penggundulan hutan, gedung pencakar langit, polusi udara, dan problem social antara lain banyaknya pengangguran, penegakan hukum, hak asasi manusia dan sebagainya. Dalam hal ini ilmu keislaman perlu dan butuh dukungan ilmu lain seperti ilmu-ilmu sosial, humaniora, kealaman secara interkoneksi dan saling mendukung.

Arus global itu bukan lawan atau kawan bagi pendidikan Islam, melainkan sebagai dinamisator. Bila pendidikan Islam mengambil posisi anti global, maka akan macet tidak bergerak dan pendidikan Islam akan mengelami penutupan intelektual. Sebaliknya bila pendidikan Islam terseret oleh arus global, tanpa daya lagi identitas  keislaman sebuah proses pendidikan akan dilindas. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus memposisikan menarik ukur global, dalam arti yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam untuk diadopsi dan dikembangkan. Sedangkan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam diulurkan, dilepas dan ditinggalkan. Bilamana pendidikan Islam itu menutup diri (bersikap eksklusif) akan ketinggalan zaman, sedangkan membuka diri beresiko kehilangan jati diri atau kepribadian.

Bagi pendidikan Islam, turbulensi arus global bisa menimbulkan paradoks atau gejala kontra moralitas, yakni pertentangan dua fisi moral secara diametral, contoh guru menekankan dan mendidik para siswanya berdisiplin berlalu lintas tetapi realita di lapangan sopir bus tidak berlalu lintas, guru mengajar anak didiknya untuk tidak dan menghindar tawuran antar pelajar akan tetapi siswa melihat dilayar televise anggota DPR RI tidak bisa mengendalikan emosinya di mata bangsa, di sekolah diadakan razia pornografi di media Televisi, internet menampilkan pornografi termasuk iklan-iklan yang merangsang hawa nafsu syahwat, dan lain-lain.

Karena globalisasi, langsung atau tidak, dapat membawa paradoks bagi praktik pendidikan Islam, seperti terjadinya kontra moralitas antara apa yang diidealkan dalam pendidikan Islam dengan realitas di lapangan berbeda, maka gerakan tajdid dalam pendidikan Islam hendaknya melihat kenyataan kehidupan masyarakat lebih dahulu, sehingga ajaran Islam yang hendak didikkan dapat landing, dan sesuai dengan kondisi masyarakat setempat agar dapat dirasakan makna dan faedahnya, akan tetapi mengabaikan lingkungannya tentu akan kehilangan makna ibadah itu sendiri.

Pendidikan Islam dalam tataran idealisme mengalami benturan nilai dengan peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia, dimana dalam era global ini kita bisa langsung melihat layer TV perang antar Negara, kerusuhan missal, unjuk rasa yang anrkis, pemberontakan gerakan sparatis, dan lain-lain. Pendidikan Islam mengajarkan aurat kaum hawa apabila menginjak dewasa atau baligh, akan tetapi arus global non- islami menciptakan sebaliknya yakni buka paha tinggi dan buka wilayah dada, sebagaimana yang ditayangkan di televise dan internet, berupa pornografi dan pornoaksi, adalah trends modernitas. Perlu diketahui bersama bahwa hadirnya media massa terutama TV memberikan dampak tertentu kepada masyarakat kalangan remaja yang kadang kala menimbulkan efek dehumanisasi, demoralisasi.

Tiga hal yang merupakan tema sentral hadirnya turbulensi arus global bagi pendidikan Islam dewasa ini adalah: Lifestyle, gaya makanan, gaya hiburan, dan gaya berpakaian (food, fun, and fashion). Jika pendidikan Islam tidak berbuat apa-apa dalam menghadapi perkembangan teknologi canggih dan modern tersebut, dapat dipastikan bahwa umat Islam akan pasif sebagai penonton bukan pemain, sebagai konsumen bukan produsen.

Pendidikan Islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal. Pertama, Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam sebagai Mata Pelajaran diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam sebagai nilai (value) yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan


Walaupun demikian, pendidikan islam tidak luput dari problematika yang muncul di era global ini. Terdapat dua faktor dalam problematika tersebut, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

a.   Faktor Internal

Relasi Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam. Tujuan pendidikan pada dasarnya hanya satu, yaitu memanusiakan manusia, atau mengangkat harkat dan martabat manusia atau human dignity, yaitu menjadi khalifah di muka bumi dengan tugas dan tanggung jawab memakmurkan kehidupan dan memelihara lingkungan. Tujuan pendidikan yang selama ini diorientasikan memang sangat ideal bahkan, lantaran terlalu ideal, tujuan tersebut tidak pernah terlaksana dengan baik. Orientasi pendidikan, sebagaimana yang dicita-citakan secara nasional, barangkali dalam konteks era sekarang ini menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi mengingat adalah tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat indonesia. Hal ini patut untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan semata mendatangkan efek positif, dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan tetapi berbagai tuntutan kehidupan yang disebabkan olehnya menjadikan disorientasi pendidikan. Pendidikan cenderung berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar lapangan, kerja, sehingga ruh pendidikan islam sebagai pondasi budaya, moralitas, dan social movement (gerakan sosial) menjadi hilang.

Masalah Kurikulum. Sistem sentralistik terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang sifatnya otoriter yang terkesan pihak “bawah” harus melaksanakan seluruh keinginan pihak “atas”. Dalam system yang seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan muncul. Dalam bidang kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi output pendidikan. Tilaar menyebutkan kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem manajemen yang dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan manusia robot. Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula beberapa kritikan kepada praktik pendidikan berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga seolah-olah kurikulum itu kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga kualitas pendidikan. Anak-anak terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran.

Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut mengalami perubahan-perubahan paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap dipertahankan. Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1) perubahan dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran agama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur tengah, kepada pemahaman tujuan makna dan motivasi beragama islam untuk mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Islam. (2) perubahan dari cara berfikir tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai islam.(3) perubahan dari tekanan dari produk atau hasil pemikiran keagamaan islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut. (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum pendidikan islam yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum pendidikan islam ke arah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasikan tujuan Pendidikan Islam dan cara-cara mencapainya.

Pendekatan/Metode Pembelajaran. Peran guru atau dosen sangat besar dalam meningkatkan kualitas kompetensi siswa/mahasiswa. Dalam mengajar, ia harus mampu membangkitkan potensi guru, memotifasi, memberikan suntikan dan menggerakkan siswa/mahasiswa melalui pola pembelajaran yang kreatif dan kontekstual (konteks sekarang menggunakan teknologi yang memadai). Pola pembelajaran yang demikian akan menunjang tercapainya sekolah yang unggul dan kualitas lulusan yang siap bersaing dalam arus perkembangan zaman.

Siswa atau mahasiswa bukanlah manusia yang tidak memiliki pengalaman. Sebaliknya, berjuta-juta pengalaman yang cukup beragam ternyata ia miliki. Oleh karena itu, dikelas pun siswa/mahasiswa harus kritis membaca kenyataan kelas, dan siap mengkritisinya. Bertolak dari kondisi ideal tersebut, kita menyadari, hingga sekarang ini siswa masih banyak yang senang diajar dengan metode yang konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan tidak ada tantangan untuk berfikir.

Profesionalitas dan Kualitas SDM. Salah satu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sejak masa Orde Baru adalah profesionalisme guru dan tenaga pendidik yang masih belum memadai. Secara kuantitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya agaknya sudah cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih belum memenuhi harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan masih unqualifiedunderqualified, dan mismatch, sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar kualitatif.

Biaya Pendidikan. Faktor biaya pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan tersendiri yang seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab atas persoalan ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam UUD 45 hasil amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana minimal 20% dari APBN dan APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang belum terpenuhi. Bahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap 20% hingga tahun 2009 sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis pendidikan.

b.   Faktor Eksternal

Dichotomic. Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan Islam adalah dichotomy dalam beberapa aspek yaitu antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan Akal setara antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini mulai tampak pada masa-masa pertengahan. Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu pengetahuan islam zaman pertengahan menyatakan bahwa, muncul persaingan yang tak berhenti antara hukum dan teologi untuk mendapat julukan sebagai mahkota semua ilmu.

To General Knowledge. Kelemahan dunia pendidikan islam berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang membumi dan kurang selaras dengan dinamika masyarakat. Menurut Syed Hussein Alatas menyatakan bahwa, kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan, mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/pemecahan masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah intelektual. Ia menambahkan, ciri terpenting yang membedakan dengan non-intelektual adalah tidak adanya kemampuan untuk berfikir dan tidak mampu untuk melihat konsekuensinya.

Lack of Spirit of Inquiry. Persoalan besar lainnya yang menjadi penghambat kemajuan dunia pendidikan islam ialah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas merujuk kepada pernyataan The Spiritus Rector dari Modernisme Islam, Al Afghani, Menganggap rendahnya “The Intellectual Spirit” (semangat intelektual) menjadi salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam di Timur Tengah.

Memorisasi. Rahman menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-standar akademis yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada kenyataan bahwa, karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi pelajar untuk dapat menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, tentang aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang. Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing) daripada pemahaman yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad pertengahan yang akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar dan bukan karya-karya yang pada dasarnya orisinal.

Certificate Oriented. Pola yang dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab al’ilm, telah memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu hadits, mencari guru diberbagai tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa karakteristik para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge oriented. Sehingga tidak mengherankan jika pada masa-masa itu, banyak lahir tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak konstribusi berharga, ulama-ulama encyclopedic, karya-karya besar sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan dengan pola yang ada pada masa sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya pergeseran dari knowledge oriented menuju certificate oriented semata. Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya.

No comments:

Post a Comment