Pages

Tuesday, January 24, 2017

Makalah Landasan Pendidikan Islam Tentang Pendidikan Gender Menurut Konsep Islam

Salam cerdas…..

A.  Pendahuluan

Perbedaan biologis jangan menjadi pijakan untuk menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan laki-laki pada posisi super ordinat. Perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan seharusnya menuntun manusia kepada kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dan dengan bekal perbedaan itu keduanya diharapkan dapat saling membantu, saling mengasihi dan saling melengkapi satu sama lain. Karena itu, keduanya harus bekerja sama, sehingga terwujud masyarakat yang damai menuju kepada kehidupan abadi di akhirat nanti. Islam secara tegas menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, yakni dalam posisi sebagai manusia, ciptaan sekaligus hamba Allah SWT. Dari perspektif penciptaan, Islam mengajarkan bahwa asal penciptaan laki-laki dan perempuan adalah sama, yakni sama-sama dari tanah (saripati tanah), sehingga sangat tidak beralasan memandang perempuan lebih rendah daripada laki-laki.

Sebagai manusia, perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan ibadah sama dengan laki-laki. Perempuan juga diakui memiliki hak dan kewajiban untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui peningkatan ilmu dan takwa, serta kewajiban untuk melakukan tugas-tugas kemanusiaan yang dalam Islam disebut amar ma'ruf nahi munkar menuju terciptanya masyarakat yang adil, damai, dan sejahtera.

Namun dalam perkembangannya, kesetaraan gender ini belum sepenuhnya berlandaskan pada ajaran tersebut diatas. Bahkan antara satu negara dengan negara lainnya yang berpenduduk muslim tidaklah sama dalam memperjuangkan nasib perempuan. Hal ini terlihat dari keberadaan kaum perempuan di Indonesia yang masih menjadi subordit kaum laki-laki. Dengan kata lain, kaum perempuan tidak serta merta dapat sejajar dengan kaum laki-laki. Hampir setiap budaya kita menempatkan laki-laki sebagai pemimpin baik dalam keluarga ,maupun berbangsa dan bernegara, meski juga diakui tidak semua budaya kita menjadikan perempuan dalam posisi kedua.[1]

B.  Pembahasan

1.   Definisi Gender

Menurut bahasa, kata gender diartikan sebagai “the grouping of words intomasculine, feminine, and neuter, according as they are regarded as male, female or without sex” yang artinya gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin,feminin, atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan.

Konsep gender sendiri harus dibedakan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin). Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen tidak  berubah dan merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender adalah perbedaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial dibentuk. Perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Sementara jenis kelamin yang biologis akan tetap dan tidak berubah. Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikontruksikan secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat berubah. Dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu dapat kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaan yang dapat mendukung dan bahkan melarang keikut sertaan anak perempuan dalam pendidikan formal. sebagai akibat ketidak samaan kesempatan, sehingga dalam masyarakat dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan formal.[2]

Gender artinya suatu konsep, rancangan atau nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-laki dikarenakan perbedaan biologis atau kodrat, yang oleh masyarakat kemudian dibakukan menjadi ’budaya’ dan seakan tidak lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itu yang tepat bagi perempuan. Apalagi kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik, ekonomi, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, gender adalah nilai yang dikonstruksi oleh masyarakat setempat yang telah mengakar dalam bawah sadar kita seakan mutlak dan tidak bisa lagi diganti. Jadi, kesetaraan gender adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki sama-sama menikmati status, kondisi, atau kedudukan yang setara, sehingga terwujud secara penuh hak-hak dan potensinya bagi pembangunan di segala aspek kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara.[3]

Hal yang penting untuk diperhatikan dalam membahas masalah kaum perempuan adalah pemahaman terhadap konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender. Pembedaan terhadap kedua konsep tersebut perlu dilakukan agar tidak ada kerancauan dalam pemahaman tentang gender dan ketidakadilan gender. Ketidakjelasan makna seks dan gender mengakibatkan timbulnya kekeliruan dalam pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.

Seks (jenis kelamin)mempunyai arti pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.[4] Perbedaan jenis kelamin tersebut meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya.[5] Seks (jenis kelamin) dibedakan berdasarkan faktor-faktor biologis hormonal dan patologis sehingga muncul dikotomi laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin laki-laki ditandai dengan adanya penis, testis, dan sperma, sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum dan rahim. Perbedaan biologis tersebut bersifat kodrati, atau pemberian Tuhan, dan tidak dapat dirubah.

Berbeda dengan konsep seks, gender dipahami sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif.[6] Sehingga gender juga dipahami sebagai suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial dan budaya non biologis.[7] Berbicara tentang konsep gender dalam Islam ditemukan sejumlah ayat dalam Al-Qur'an, antara lain QS Al-Hujurat: 13, Al-Nisa':1, Al-A'raf:189, Al-Zumar:6, Fatir:11, dan Al-Mu'min: 67. Di antaranya dalam al-Qur'an surat al-Hujurat: 13
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.[8]

Ayat di atas memberi petunjuk bahwa dari segi hakikat penciptaan, antara manusia yang satu dan manusia lainnya tidak ada perbedaan, termasuk di dalamnya antara perempuan dan laki-laki. Karena itu, tidak perlu ada semacam superioritas suatu golongan, suku, bangsa, ras, atau suatu entitas gender terhadap lainnya. Kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya persamaan antara sesama manusia, termasuk persamaan antara perempuan dan laki-laki. Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa Al-Qur'an menegaskan equalitas perempuan dan laki-laki.

Senada dengan Al-Qur'an, sejumlah hadis Nabi pun menyatakan bahwa sesungguhnya perempuan itu mitra sejajar laki-laki. Meskipun secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda sebagaimana dinyatakan juga dalam Al-Qur'an, namun perbedaan jasmaniah itu tidak sepatutnya dijadikan alasan untuk berlaku diskriminatif terhadap perempuan. Perbedaan jenis kelamin bukan alasan untuk mendiskreditkan perempuan dan mengistimewakan laki-laki.

Islam tidak sejalan dengan paham yang tidak memberikan peluang bagi perempuan untuk berkarya lebih besar di dalam atau di luar rumah. Al-Qur’an tidak mengenal konsep dosa warisan dari ibu-bapak umat manusia (Hawa dan Adam) dalam skandal “buah terlarang”, melainkan itu adalah tanggung jawab keduanya. Perbedaan fisik dan biologis laki-laki dan perempuan tidak mengharuskan adanya perbedaan status dan kedudukan. Bahkan salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah “persamaan antara manusia”, baik laki-laki maupun perempuan, antara bangsa, suku, dan keturunan. Perbedaan yang di “garis bawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanya “nilai” pengabdian dan ketakwaan kepada Allah SWT.[9]

2.   Teori Gender

Terdapat dua teori peran laki-laki dan perempuan yang berlawanan, yaitu teori nature dan teori nurture.[10] Teori nature yang disokong oleh teori biologis dan teori fungsionalisme struktural ini, mengatakan bahwa perbedaan peran gender bersumber dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan teori nurture, yang disokong oleh teori konflik dan teori feminisme, mengandaikan bahwa perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan bukan merupakan konsekuensi dari perbedaan biologis yang kodrati, namun lebih sebagai hasil konstruksi manusia, yang pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang melingkupinya.

Kedua teori peran ini, pada tahap berikutnya senantiasa berjalan secara berlawanan. Laki-laki atau perempuan, tidak didefinisikan secara alamiah namun kedua jenis kelamin ini dikonstruksikan secara sosial. Berdasarkan teori ini, anggapan bahwa laki-laki yang dikatakan kuat, macho, tegas, rasional, dan seterusnya, sebagai kodrat laki-laki, sesungguhnya merupakan rekayasa masyarakat patriarkhi. Demikian juga sebaliknya, anggapan bahwa perempuan lemah, emosional dan seterusnya sesungguhnya hanya diskenerioi oleh struktur masyarakat patriarkhi. Oleh karena itu diperlukan pemosisian apakah identitas jenis kelamin perempuan dan laki-laki itu merupakan entitas kodrati atau konstruksi. Hal ini penting didudukkan mengingat implikasi dari konsep yang berbeda tersebut sangat besar bagi kehidupan sosial, laki-laki dan perempuan dalam lingkup sosio-kultural yang lebih luas. Di samping itu, perdebatan in kemudian juga berdampak pada adanya pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang tidak wajar dilakukan oleh laki-laki atau perempuan.

Teori nature (Kelemahan Sebagai Kodrat Perempuan) adalah teori yang mengandaikan bahwa peran laki-laki dan perempuan, merupakan peran yang telah digariskan oleh alam. Munculnya teori ini, bisa dikatakan diilhami oleh sejumlah teori filsafat sejak era kuno. Dalam konteks filsafat Yunani Kuno misalnya, dinyatakan bahwa alam dikonseptualisasikan dalam pertentangan kosmik yang kembar, misalnya: siang malam, baik buruk, kesimbungan-perubahan, terbatas-tanpa batas, basah-kering, tunggal-ganda, terang-gelap, akal-perasaan, jiwa-raga, laki-perempuan, dan seterusnya. Dengan demikian, ada dua entitas yang selalu berlawanan, yang berada pada titik eksistensial yang a simetris dan tidak berimbang. Dalam hal ini, kelompok pertama selalu dikonotasikan secara positif dan dikaitkan dengan laki-laki, sementara kelompok kedua berkonotasi negatif yang selalu dikaitkan dengan perempuan.

Senada dengan pandangan di atas, Plato sedikit memberikan tempat bagi perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan memiliki jiwa laki-laki yang rendah dam pengecut. Kendati memposisikan perempuan rendah, namun ia masih menyisakan tempat bagi perempuan, untuk menembus kesejatian laki-laki. Menguatkan teori nature tentang laki-laki dan perempuan, Arstoteles juga mendukung ide Plato tentang dikhotomi jiwa-raga., dengan anggapan ketidaksetaraan di antara manusia sebagai sesuatu yang alami dan bahwa yang kuat harus mendominasi yang lemah. Lebih jauh, Aristoteles juga melembagakan penolakan kewarganegaraan perempuan dalam negara kota, yang pada saat itu mulai berkembang.

Jika Plato melihat dunia sebagai proses oposisi kembar yang tiada hentinya, Aristoteles juga mengandaikan bahwa dualisme hirarkhi, yakni oposisi kembar mengharuskan adanya dominasi satu pihak atas pihak lainnya. Jiwa mendominasi tubuh, akal mendominasi perasaan, laki-laki mendominasi perempuan dan seterusnya. Perempuan yang didefinisikan sebagai suatu yang ganjil, menyimpang dari prototipe manusia generik adalah budak-budak dari fungsi tubuh yang pasif dan emosiaonal. Akibatnya perempuan lebih rendah dari laki-laki yang memiliki pikiran aktif dan cakap. Dampak dari dasar filsafat di atas, maka perempuan dianggap sebagai perahu/kapal tempat menyimpan dan mengasuh benih manusia karena ia keluar tanpa jiwa. Laki-lakilah yang dianggap sebagai pencipta sejati.

Teori Nurture (Laki-laki dan Perempuan dalam Konstruksi Sosial), Pendefinisan laki-laki yang dilakukan oleh masyarakat patriarkhi, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari tiga konsep metafisika, yakni: identitas, dikhotomi dan kodrat. Identitas merupakan konsep pemikiran klasik yang selalu mencari kesejatian pada yang identik. Segala sesuatu harus memiliki identitas, memiliki kategorisasi dan terumuskan secara jelas. Aristoteles yang dikatakan sebagai bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu tanpa identitas adalah mustahil. Berdasarkan kateorisasi yang melengkapi atribut identas, maka lahirlah dikhotomi, pembedaan secara rigid dengan batas-batas tertentu. Konsepsi dikhotomi yang mewarnai pola pikir filsafat Barat sejak era klasik hingga modern ini, sesungguhnya lahir dari ide Plato. Implikasi dari pola pikir ini adalah adanya penempatan salah satu oposisi dalam posisi subordinat atas yang lain. Misalnya dinyatakan bahwa rasio dihukumi lebih tinggi dari emosi, jiwa lebih unggul dari tubuh, ide dianggap lebih unggul dari materi, dan seterusnya.

3.   Pelaksanaan Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan

Dalam membahas masalah ini kita dihadapkan pada dua pokok yang berkaitan erat yaitu: a) Feminesme / kekuasaan / keadilan, b) feminesme keadilan.[11] Feminesme dan kekuasaan. Kedudukan perempuan dalam masyarakat hingga dewasa ini. Perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Hal ini disebabkan karena peranan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat mensubordinasikan perempuan dibawah kekuasaannya. Tentunya hal ini bertentangan dengan hakikat manusia yang dilahirkan sama dan oleh sebab itu kekuasaan laki-laki dan perempuan bertentangan dengan harkat manusia.

Tidak mengherankan apabila berbagai jenis produk kekuasaan telah dihadirkan dari tangan kaum laki-laki. Kekuasaan yang dipegang oleh kaum laki-laki berarti membatasi kemerdekaan perempuan. Pembebasan terhadap kebebasan perempuan bukan hanya membatasi perkembangan pribadi perempuan, tetapi juga pada hakikatnya telah membatasi kemerdekaan perkembangan laki-laki. Bukankah perkembangan pribadi manusia merupakan interaksii antar manusia termasuk interaksi antara perempuan dengan laki-laki. Dengan adanya ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan maka tidak mungkin dapat ditegakkan keadilan. Apa yang dituntut dalam suatu masyarakat manusia adalah kebebasan para anggotanya yang berkeadilan termasuk kebebasan yang penuh bagi para laki-laki dan para perempuan.

Kebebasan yang berkeadilan menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kebebasan yang demikian ialah kebebasan yang berkeadilan artinya, terdapat pembagian kekuasaan yang adil antara laki-laki dan perempuan antara lain karena perbedaan biologis antara keduanya. Keadilan yang sama berarti kesamaan dalam kesempatan dan pemanfaatan sumber-sumber dalam hidup bersama. Dapat saja terjadi keadilan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, bidang sosial budaya, bidang politik misalnya dalam hukum-hukum pemilihan umum, tetapi tidak terdapat persamaan dalam pemberian kesempatan yang sama. Dalam pemilu misalnya hak perempuan dan laki-laki sama yang dijamin dalam undang-undang, tetapi dalam penunjukkan wakil-wakilnya ternyata wakil-wakil rakyat didominasi oleh kaum laki-laki. Hal ini berarti dalam kehidupan politik belum terjamin keadilan yang sama antara laki-laki dan perempuan.

Apabila perempuan disubordinasikan dari laki-laki maka hasilnya adalah ketidak berdayaan perempuan sehingga dia hanya merupakan objek eksplotasi laki-laki dalam arti fisik (biologis). Keadaan ini dapat digunakan oleh kaum perempuan secara negatif dengan menggunakan kelemahan laki-laki dalam eksplotasi kamu perempuan. Lahirlah budaya seks yang pada hakikatnya menunjukkan ketidak berdayaan perempuan dan  seakan-akan menonjolkan keperkasaan laki-laki yang sebenarnya menunjukkan keterbatasan kaum laki-laki itu sendiri.

Kekuasaan dan Pendidikan. Hubungan antara kekuasaan dan pendidikan sangat erat. Ilmu pengetahuan terutama di abad modern dewasa ini. Menguasai ilmu pengetahuan berarti menguasai sumber-sumber kehidupan lebih-lebih dalam ilmu pengetahuan sosial abad 21. Hal ini menyebabkan kaum perempuan dianaktirikan di dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas. Kaum perempuan sejak didiskriminasikan untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan berkelanjutan, tempat perempuan bukannya dalam publik tetapi di dalam kehidupan privat, dalam kehidupan keluarga dan bahkan hanya merupakan pajangan bagi kaum laki-laki. Kita mengenal budaya dipingit seperti yang dialami oleh R.A. Kartini. Dia seorang perempuan yang cerdas dan mempunyai pandangan yang jauh ke depan, tetapi budaya memaksa dia untuk mengakhiri pendidikan sekolah dasarnya sampai dia di paksa berumah tangga oleh kedua orang tuanya.

Dewasa ini tentunya budaya-budaya pingitan perempuan atau membuat kaki perempuan kecil seperti dalam kebudayaan cina kuno sehingga perempuan tidak bisa bergerak atau melarikan diri dari suaminya. Dewasa ini pada umumnya perempuan telah diberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan sama-sama dengan kaum laki-laki. Hal ini di lihat dalam perkembangan pendidikan nasional yang jumlah siswa laki-laki dan perempuan telah berimbang. Hal telah menunjukkan bagaimana pendidikan nasional di Indonesia telah menembus hambatan-hambatan dikriminasi seks. Kesempatan yang sama untuk meraih ilmu pengetahuan telah dijamin dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan berbagai peraturan lainnya.

Namun, pelaksanaan prinsip kesetaraan yang berkeadilan ternyata “ belum sepenuhnya” terlaksana dalam masyarakat. Misalnya sulit bagian kaum perempuan menduduki jabatan-jabatan strategi dalam masyarakat seperti jabatan presiden, Gubernur, Anggota DPR yang seluruhnya menunjukkan ketimpangan di dalam kesetaraan yang berkeadilan.

4.   Kesetaraan Gender dalam Pendidikan

Keadilan dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama peradaban manusia untuk mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan membangun keluarga berkualitas. Jumlah penduduk perempuan hampir setengah dari seluruh penduduk Indonesia dan merupakan potensi yang sangat besar dalam mencapai kemajuan dan kehidupan yang lebih berkualitas. Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan nasional, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Kesetaraan gender menuntut adanya suatu perlakuan adil terhadap laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis tidak dapat dijadikan dasar untuk terjadinya diskriminasi mengenai hak sosial, budaya, hukum dan politik terhadap satu jenis kelamin tertentu.

Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, sehingga mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan dan memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Secara historis telah terjadi dominasi laki-laki dalam segala lapisan masyarakat di sepanjang zaman, dimana perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Dari sini muncullah doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.[12]

Ketidaksetaraan tersebut diantaranya adalah:

a. Marginalisasi terhadap perempuan. Marginalisasi berarti menempatkan atau menggeser perempuan kepinggiran. Perempuan dicitrakan lemah, kurang atau tidak rasional, kurang atau tidak berani, sehingga tidak pantas atau tidak dapat memimpin. Akibatnya perempuan selalu dinomorduakan apabila ada kesempatan untuk memimpin. Contoh marjinalisasi terhadap perempuan ini diantaranya:
1)   dalam proses pembangunan, perempuan diikutsertakan tetapi tidak pernah diajak turut mengambil keputusan dan pendapatnya jarang didengarkan,
2)  dalam keluarga perempuan tidak diakui sebagai kepala keluarga. Perempuan tidak boleh memimpin dan memerintah suami sekalipun suami tidak bisa memimpin,
3)  dalam diri perempuan sendiri terdapat perasaan tidak mampu, lemah, menyingkirkan diri sendiri karena tidak percaya diri, dan masih banyak contoh lainnya.
b. Steorotip masyarakat terhadap perempuan. Pandangan stereotip masyarakat, yakni pembakuan diskriminatif antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki sudah mempunyai sifat masing-masing yang sepantasnya, sehingga tidak dapat keluar dari qodrat yang telah ada. Sebagai contoh: a) urusan rumah tangga diserahkan kepada istri dan anak perempuan, pendidikan anak-anak menjadi tanggungjawab ibu, dan mengurus suami diserahkan sepenuhnya kepada istri tanpa adanya upah, b) kebanyakan perempuan memilih pekerjaan yang sudah dibagikan sesuai seks tanpa mempedulikan kemampuan atau potensi sebenarnya yang dimiliki, c) jika seorang laki-laki memperkosa seorang perempuan, maka perempuan ini yang bertanggung jawab, karena ia keluar dari rumahnya, dan karena tugas seorang perempuan adalah tinggal di rumah, dan lain sebagainya.
c.  Subordinasi terhadap perempuan. Pandangan ini memposisikan perempuan dan karya-karyanya lebih rendah dari laki-laki, sehingga menyebabkan mereka merasa sudah selayaknya sebagai pembantu, nomor dua, sosok bayangan, dan tidak berani memperlihatkan kemampuannya sebagai pribadi. Laki-laki menganggap perempuan tidak mampu berpikir seperti ukuran mereka, sehingga mereka selalu khawatir apabila memberi pekerjaan berat kepada perempuan.
d. Beban ganda terhadap perempuan. Pekerjaan yang diberikan kepada perempuan lebih lama pengerjaannya bila diberikan kepada laki-laki, karena perempuan yang bekerja disektor publik masih memiliki tanggungjawab pekerjaan rumah tangga yang tidak dapat diserahkan kepada pembantu rumah tangga sekalipun pembantu rumah tangga sama-sama perempuan.
e. Kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan dapat berupa kekerasan psikis, seperti pelecehan, permintaan hubungan seks ditempat umum, senda gurau yang melecehkan seks perempuan. Dan kekerasan fisik, seperti pembunuhan, perkosaan, penganiayaan terhadap perempuan dan lain sebagainya.[13]
f.  Sementara itu dalam pendidikan dasar persamaan pendidikan menghantarkan setiap individu atau rakyat mendapatkan pendidikan sehingga bisa disebut pendidikan kerakyatan. Sebagaimana Athiyah, Wardiman Djojonegoro menyatakan bahwa ciri pendidikan kerakyatan adalah perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan pada setiap jenis kelamin dan tingkat ekonomi, sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik. Dalam kerangka ini, pendidikan diperuntukkan untuk semua, minimal sampai pendidikan dasar. Sebab manusia memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Apabila ada sebagian anggota masyarakat yang tersingkir dari kebijakan kependidikan berarti kebijakan tersebut telah meninggalkan sisi kemanusiaan yang setiap saat harus diperjuangkan.[14]

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa nilai kemanusiaan terwujud dengan adanya pemerataan yang tidak mengalami bias gender. Masalah pendidikan, antara anak perempuan dan anak laki-laki hendaknya harus seimbang. Anak perempuan, sebagaimana anak laki-laki harus punya hak/kesempatan untuk sekolah lebih tinggi. Bukan menjadi alternatif kedua jika kekurangan biaya untuk sekolah. Hal ini dengan pertimbangan adanya penghambur-hamburan uang sebab mereka akan segera bersuami, peluang kerjanya kecil dan bisa lebih banyak membantu orang tua dalam pekerjaan rumah. Pendirian seperti ini melanggar etika Islam yang memperlakukan orang dengan standar yang materialistik. Islam menyerukan adanya kemerdekaan, persamaan dan kesempatan yang sama antara yang kaya dan yang miskin dalam bidang pendidikan di samping penghapusan sistem-sistem kelas-kelas dan mewajibkan setiap muslim laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu serta memberikan kepada setiap muslim itu segala macam jalan untuk belajar, bila mereka memperlihatkan adanya minat dan bakat.

Dengan demikian, pendidikan kerakyatan seharusnya memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minat setiap individu perempuan, bukan hanya diarahkan pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga melainkan juga masalah pertanian dan keterampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua bidang tersebut akan menjadikan nilai yang amat besar dan merupakan langkah awal untuk memperjuangkan persamaan yang sesungguhnya.

Pendidikan memang harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan zaman yaitu kualitas yang memiliki keimanan dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh, mengenali, menghayati dan menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan mutakhir, mampu mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada hal-hal yang baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi dan berusaha meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualitas tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.

Ungkapan Athiyah tentang pendidikan perempuan seakan menyadari kondisi riil historisitas kaum muslimin yang secara sosial perempuan seringkali dirugikan oleh perilaku sosialnya. Seperti perempuan-perempuan  harus putus sekolah karena diskriminasi gender (sebab pernikahan atau hamil diluar nikah) atau karena keterbatasan ekonomi, anak laki-laki mendapatkan prioritas utama walau potensinya tidak lebih tinggi daripada anak perempuan.

Kesetaraan dan keadilan gender dapat juga disebut dengan istilah kemitra sejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita dalam pendidikan, artinya pria dan wanita mempunyai hak, kewajiban, kedudukan, peranan dan kesempatan yang sama dalam berbagai bidang kehidupan terlebih dalam pendidikan dan pembangunan. Semua itu dilandasi atas dasar saling menghormati, saling menghargai, saling membantu, saling mengisi dan sebagainya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sementara itu bila ditinjau dari tinjauan Yuridis konsep pendidikan berperspektif gender telah dirumuskan oleh pemerintah, karena melihat kesetaraan dan keadilan gender masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya kaum wanita. Untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender itu, dalam instansi pemerintah telah mengambil kebijakan, pendidikan yang berwawasan kesetaraan dan keadilan gender seperti yang tertuang dalam:

Konvensi Wanita Tahun 1981. Konvensi wanita tahun 1981, yang disetujui oleh Majelis Umum PBB, sebagian isinya adalah:

Pasal 1, “...istilah diskriminasi terhadap wanita” berarti setiap perbedaan pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, terlepas dari status perkawinan mereka, dan dasar persamaan antara pria dan wanita.

Pasal 2: mewajibkan negara untuk menjamin melalui peraturan perundang-undangan atau dengan cara-cara lainnya untuk melaksanakan prinsip persamaan antara wanita dan pria.

Pasal 3: negara-negara peserta mengambil langkah-langkah yang tepat termasuk pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya dibidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin perkembangan kemajuan wanita sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan pria.

Pasal 4: pembuatan peraturan-peraturan khusus oleh negara-negara peserta, termasuk peraturan-peraturan yang dimuat dalam konvensi, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan, dianggap sebagai diskriminasi.

Pasal 5: negara-negara peserta wajib wajib membuat peraturan-peraturan:
a. Untuk mengubah pola perilaku sosial budaya pria  dan wanita dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka, atau kebiasaan yang berdasarkan peran stereotipe pria dan wanita, dan 
b. Untuk menjamin bahwa pendidikan keluarga meliputi pengertian mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial dan pengakuan tanggung jawab bersama antara pria dan wanita dalam membesarkan anak-anak mereka ....”.

Hasil konvensi wanita tahun 1981 dan telah disetujui PBB tersebut menandakan bahwa kesetaraan gender sudah menjadi kebutuhan atau tuntutan bagi umat manusia diseluruh dunia. Konvensi tersebut dapat dijadikan rujukan semua pihak agar kesetaraan gender dilaksanakan di semua negara.

Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27. Undang-undang Dasar 1945, BAB X tentang warga negara, pasal 27 ayat (1) berbunyi: “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya.[15]

Pasal tersebut jelas menentukan, semua orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum dan pemerintah tanpa ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Sejak tahun 1945 prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan sebenarnya telah diakui, terbukti dalam ketentuan Undang-undang Dasar 1945 tentang pengakuan warga negara dan penduduk jelas tidak membedakan jenis kelamin.

Tap MPR No. IV/1999. Tap MPR No. IV/1999 tentang GBHN mengamanatkan tentang Kedudukan dan Peranan Perempuan sebagai berikut: a) Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dan b) Meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai persatuan dan kesatuan serta historis perjuangan kaum perempuan, dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Tap MPR No. IV/1999 tersebut mendukung untuk meningkatkan peran dan kedudukan perempuan perlu dikembangkan kebijakan nasional yang diemban oleh suatu lembaga yang mampu mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) serta mampu meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan.

Inpres No. 9 Tahun 2000. Inpres No. 9 Tahun 2000 ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid yang berisi tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional. Secara rinci presiden menginstruksikan:

a)   Melakukan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing,
b)  Memperhatikan secara sungguh-sungguh pedoman pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional sebagaimana terlampir dalam dalam Instruksi Presiden ini sebagai acuan dalam melaksanakan pengarusutamaan gender dan
c)  Khusus ditujukan Menteri Pemberdayaan Perempuan agar memberikan bantuan teknis kepada instansi dan lembaga pemerintahan di tingkat Pusat dan Daerah dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender kepada presiden.

Berdasarkan Inpres tersebut menegaskan bahwa gender merupakan konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Sedangkan kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.

5.   Tujuan Pendidikan Berperspektif Gender

Tujuan dari pendidikan berperspektif gender di antaranya:

1)   Mempunyai akses yang sama dalam pendidikan, misalnya, anak pria dan wanita mendapat hak yang sama untuk dapat mengikuti pendidikan sampai ke jenjang pendidikan formal tertentu. Tentu tidaklah adil, jika dalam era global sekarang ini menomor duakan pendidikan bagi wanita, apalagi kalau anak wanita mempunyai kemampuan. Pemikiran yang memandang bahwa wanita merupakan tenaga kerja di sektor domestik (pekerjaan urusan rumah tangga) sehingga tidak perlu diberikan pendidikan formal yang lebih tinggi, merupakan pemikiran yang keliru.
2) Kewajiban yang sama, umpamanya seorang laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kewajiban untuk mencari ilmu. Sejalan dengan hadits nabi “menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan”.
3)  Persamaan kedudukan dan peranan, contohnya baik pria maupun wanita sama-sama berkedudukan sebagai subjek atau pelaku pembangunan. kedudukan pria dan wanita sebagai subjek pembangunan mempunyai peranan yang sama dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan menikmati hasil pembangunan. Akhirnya berkaitan dengan persamaan kesempatan.[16]

Dapat diambil contoh, jika ada dua orang guru yakni seorang pria dan seorang wanita sama-sama memenuhi syarat, keduanya mempunyai kesempatan yang sama untuk mengisi lowongan sebagai Kepala Sekolah. Wanita tidak dapat dinomorduakan semata-mata karena dia seorang wanita. Pandangan bahwa pemimpin itu harus seorang pria merupakan pandangan yang keliru dan perlu ditinggalkan. Pendidikan berperspektif gender barulah akan memberikan hasil secara lebih memuaskan, jika dilaksanakan oleh seluruh kalangan masyarakat, mulai dari yang tergabung dalam lembaga pendidikan formal maupun non formal, instansi pemerintah, swasta seperti organisasi profesi, organisasi sosial, organisasi politik, organisasi keagamaan dan lain-lain sampai pada unit yang terkecil yaitu keluarga. Pembangunan di bidang pendidikan misalnya, kalau perencanaannya, pelaksanaannya atau pelayanannya, pemantauannya dan evaluasinya sudah berwawasan gender, maka dapat dipastikan bahwa pendidikan yang baik dapat dinikmati oleh baik laki-laki maupun perempuan. Demikian pula pembangunan di bidang-bidang yang lainnya.

6.   Kasus-Kasus Gender

Manohara Odelia Pinot. Manohara Odelia Pinot adalah model belia kelahiran Jakarta, 28 Februari 1992. Lahir dari seorang ibu keturunan bangsawan Bugis, Daisy Fajarina dan ayah berkebangsaan Perancis, Reiner Pinot Noack. Manohara Odelia Pinot di usia yang masih sangat muda, 16 tahun, ia menikah dengan seorang pangeran asal Malaysia Barat, Tengku Muhammad Fakhry Petra. Hal ini bermula dari pertemuan Manohara dengan Tengku Fakhry di bulan Desember 2006. Mereka dipertemukan dalam acara jamuan makan malam. Dari situlah, sang pangeran jatuh hati. Meski terpaut selisih usia, namun akhirnya kedua insan ini berpacaran dengan seizin ibunda Manohara, Daisy.

Tak lama setelah itu, Tengku Fakhry menyatakan keinginannya untuk memperistri mantan kekasih Ardie Bakri ini. Pada 17 Agustus 2008, Manohara beserta keluarga berangkat ke Malaysia atas undangan keluarga Tengku Fakhry. Tengku Fakhry akhirnya menikahi Manohara yang saat itu masih berusia 16 tahun. Pernikahan yang diadakan di Malaysia ini sempat terganjal akibat usia Manohara yang masih di bawah umur dan tidak ada wali serta surat dari KBRI setempat. Namun, pada akhirnya pernikahan inipun tetap terlaksana.

Akhir 2008 Manohara kabur lewat Singapura ke Jakarta dari tempat kediamannya di Malaysia. Menurut penuturan Manohara kepada ibunya, Daisy, ia mengalami perlakukan tak menyenangkan dari suaminya serta tidak tahan dengan sikap kasar Tengku Fakhry kepadanya, akhirnya Manohara memilih kabur. Selama kabur, Manohara tinggal di rumah kontrakan keluarganya di daerah Jakarta Selatan. 17-18 Maret 2009 Nenek Manohara dan Dewi pergi ke kedutaan Indonesia guna meminta bantuan. 30 Mei 2009 Sultan Kelantan mengalami serangan jantung, dan langsung dirujuk ke Singapura. Manohara dan keluarga kerajaan berangkat ke Singapura. Menurut rencana, Manohara bersama keluarga kerajaan akan berada di Singapura selama lima hari. 31 Mei 2009 Akhirya Manohara pun pulang bersama Daisy dan Dewi ke Indonesia. Manohara tiba di Indonesia pada Minggu (31/5) pukul 07.30 WIB.[17]

Susi Pujiastuti. Berkat kesuksesannya di bidang usaha perikanan dan transportasi, Susi Pudjiastuti, mantan pegiat golput lulusan SMP ini terpilih menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Di dunia usaha, nama Susi cukup dikenal sebagai bos PT ASI Pudjiastuti Marine Product, eksportir hasil-hasil perikanan dan PT ASI Pudjiastuti Aviation alias Susi Air. Namun siapa sangka perempuan kelahiran Pangandaran, 15 Januari 1965 ini hanya lulusan SMP. Mengutip dari Wikipedia, Ayah dan ibunya Susi yaitu Haji Ahmad Karlan dan Hajjah Suwuh Lasminah berasal dari Jawa Tengah yang sudah lima generasi lahir dan hidup di Pangandaran. Keluarganya adalah saudagar sapi dan kerbau, yang membawa ratusan ternak dari Jawa Tengah untuk diperdagangkan di Jawa Barat. Kakek buyutnya Haji Ireng dikenal sebagai tuan tanah.

Usai lulus sekolah di SDN 8 Pangandaran, kemudian lanjut ke SMPN 1 Pangandaran. Setelah itu melanjutkan pendidikan ke SMAN 1 Yogyakarta, namun tidak sampai selesai. Susi dikenal sebagai perempuan yang berani menyuarakan pendapatnya. Ia dikeluarkan dari SMA karena aktif dalam gerakan golput. Setelah tidak lagi bersekolah, tepatnya tahun 1983, ia memutuskan untuk menjadi pengepul ikan dengan modal Rp 750 ribu hasil menjual perhiasan. Bisnisnya terus berkembang, akhirnya ia mendirikan pabrik pengolahan ikan PT ASI Pudjiastuti Marine Product dengan produk unggulan berupa lobster dengan merek “Susi Brand” tahun 1996. Produk Susi Brand berhasil menembus pasar hingga ke Asia dan Amerika. Untuk mempermudah distribusi, ia memerlukan sarana transportasi udara yang dapat dengan cepat mengangkut lobster, ikan, dan hasil laut lain kepada pembeli dalam keadaan masih segar. Berkat saran suaminya, WN Jerman bernama Christian von Strombeck, pada 2004 Susi memutuskan membeli sebuah pesawat Cessna Caravan seharga Rp 20 Miliar menggunakan pinjaman bank. Suami Susi merupakan mekanik pesawat dan pilot di Indonesia. Bermodal satu pesawat Cessna, perusahaan ikan miliknya mengangkut lobster dan ikan segar tangkapan nelayan di berbagai pantai di Indonesia untuk dibawah ke Jakarta dan Jepang.

Dua hari setelah gempa tektonik dan tsunami Aceh melanda Aceh dan pantai barat Sumatera pada 26 Desember 2004, Cessna Susi adalah pesawat pertama yang berhasil mencapai lokasi bencana untuk mendistribusikan bantuan kepada para korban yang berada di daerah terisolasi. Peristiwa itu mengubah takdir bisnis Susi. Di saat bisnis perikanan mulai merosot, Susi menyewakan pesawatnya itu yang semula digunakan untuk mengangkut hasil laut untuk misi kemanusiaan. Selama tiga tahun berjalan, maka perusahaan penerbangan ini semakin berkembang hingga memiliki 14 pesawat, ada empat di Papua, empat pesawat di Balikpapan, Jawa dan Sumatera. Perusahaannya memiliki 10 pesawat Cessna Grand Caravan, dua pesawat Pilatus Porter, satu pesawat Diamond star dan satu buah pesawat Diamond Twin star. Sekarang Susi Air memiliki 45 pesawat terbang beragam jenis. (anila).[18]

Sri Mulyani Indrawati. Sri Mulyani Indrawati adalah wanita sekaligus orang Indonesia pertama yang menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Jabatan ini diembannya mulai 1 Juni 2010. Sebelumnya, dia menjabat Menteri Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu. Begitu, dia berkantor di Kantor Bank Dunia, dia praktis meninggalkan jabatannya sebagai menteri keuangan. Sebelum menjabat Menteri Keuangan, dia menjabat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dari Kabinet Indonesia Bersatu. Wanita yang akrab dengan panggilan Mbak Ani tersebut merupakan ekonom yang sering tampil di panggung-panggung seminar atau dikutip di berbagai media massa. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) ini juga sempat aktif menjadi penasehat pemerintah bersama sejumlah ekonom terkemuka lain dalam wadah Dewan Ekonomi Nasional (DEN) pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid. Seperti halnya di Indonesia, di Amerika ia juga sering mengikuti seminar, tetapi lebih banyak masalah internasional daripada di Indonesia.

Komentar dan analisisnya kritis, lugas, jernih dan populer. Ia primadona panggung seminar dan talk show di televisi kala itu. Selain sering muncul di seminar-seminar, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) ini juga sempat aktif menjadi penasihat pemerintah bersama sejumlah ekonom terkemuka lain dalam wadah Dewan Ekonomi Nasional (DEN) pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid. Ia pernah menjabat Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) sejak Juni 1998.

Pada 5 Desember 2005, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan perombakan kabinet, Sri Mulyani dipindahkan menjadi Menteri Keuangan menggantikan Jusuf Anwar. Sejak tahun 2008, ia menjabat Pelaksana Tugas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, setelah Menko Perekonomian Dr. Boediono dilantik sebagai Gubernur Bank Indonesia. Kepribadiannya yang lugas dan cerdas, telah mengantarkannya kepada pergaulan yang sangat luas. Ia disenangi banyak orang di dalam dan luar negeri. Tak heran bila pada awal Oktober 2002 lalu ia terpilih menjadi Executive Director Dana Moneter Internasional (IMF) mewakili 12 negara di Asia Tenggara (South East Asia/SEA Group), menggantikan Dono Iskandar Djojosubroto. Dia menjadi perempuan pertama dari Indonesia menduduki posisi itu. penghargaan yang pernah diraih: Wanita paling berpengaruh ke-2 di Indonesia versi majalah Globe Asia bulan Oktober 2007 dan Menteri Keuangan terbaik Asia untuk tahun 2006 oleh Emerging Markets.[19]

7.   Kesimpulan

Kesetaraan dan keadilan gender dapat juga disebut dengan istilah kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita dalam pendidikan, artinya pria dan wanita mempunyai hak, kewajiban, kedudukan, peranan dan kesempatan yang sama dalam berbagai bidang kehidupan terlebih dalam pendidikan dan pembangunan. Semua itu dilandasi atas dasar saling menghormati, saling menghargai, saling membantu, saling mengisi dan sebagainya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pendidikan gender memang harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan zaman yaitu kualitas yang memiliki keimanan dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh, mengenali, menghayati dan menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan mutakhir, mampu mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada hal-hal yang baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi dan berusaha meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualitas tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.

Oleh Jelita



[1]Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama: Merajut Kerukunan, Kesetaraan Gender dan Demokratisasi Masyarakat Multsikultural, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), hal. 126.
[2]Uni Marni Malay, Perempuan dan Kesetaraan Gender, [online], Tersedia: http://filsafat.kompasiana.com, akses 13-12-2014.
[3]Ibid.
[4]Tobroni, et. All., Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, Civil Society dan Multikulturalisme, (Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2007), hal. 228.
[5]L. Lindsey, Gender Roles: a Sociological Perspective, (New Jersey: Prentice Hall, 1990), hal. 2.
[6]T.H. Wilson, Sex and Gender: Making cultural sense of Civilization, (New York: E. J. Brill, 1989), hal. 2.
[7]N. Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 35.
[8]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1981), hal. 847.
[9]Martinis Yamin dan Maisah, Orientasi Baru Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Referensi, 2012), hal. 89-85.
[10]Uni Marni Malay, op. cit., akses 13-12-2014.
[11]Martinis Yamin dan Maisah, op. cit., hal. 89-92.
[12] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf,  (Yogyakarta: Lembaga Study Pengembangan Perempuan dan Anak, 1994), hal. 55.
[13]A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender, (Magelang: Indonesia Tera, 2004), hal. XX-XXIV.
[14]Eni Purwati dan Hanun Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: Alpha, 2005), hal. 30.
[15]Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Dasar Republik Indonesia Beserta Amandemennya, (Solo: Adzana Putra, 2004), hal. 18.
[16]Modul, Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Di Sektor Pendidikan, (Direktorat Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan Bappenas bekerja sama dengan CIDA melalui Women’s Support Project Phase II. hal. 29.
[17]Rouf Ibnu Muthi, Analisis Kasus Perceraian Manohara, [online], tersedia: http://roufibnumuthi.blogspot.com/2012.html, diakses 7 Januari 2015.

[18]“Kisah Susi Pudjiastuti, Lulusan SMP yang Terpilih Jadi Menteri”, Nefosnews. Edisi, 27 Oktober 2014

[19]Profil Sri Mulyani Indrawati, Merdeka.Com, edisi  Khusus 2012-2014


No comments:

Post a Comment