Search This Blog

Perpustakaan di Dunia Islam Pada Masa Klasik

Salam cerdas.....

Pada zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam di masa klasik, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku merupakan sumber informasi berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada dan telah dikembangkan oleh para ahlinya. Para ulama sarjana dari berbagai macam keahlian, pada umumnya menulis buku-buku bidangnya masing-masing dan selanjutnya untuk diajarkan atau disampaikan kepada para penuntut ilmu, dan bahkan para ulama dan sarjana tersebut memberikan kesempatan kepada para penuntut ilmu untuk belajar di perpustakaan pribadi mereka.

Di samping itu, berkembang pula perpustakaan yang bersifat umum, yang diselenggarakan oleh pemerintah atau merupakan berupa wakaf dari para ulama dan sarjana. Baitul Hikmah di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid, merupakan salah satu contoh dari perpustakaan  Islam yang lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan Bahasa Arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, dan berbagai macam buku terjemahan dari berbagai bahasa seperti Yunani, Persia, India, Qibty dan Aramy. Perpustakaan-perpustakaan dalam dunia Islam pada masa jayanya dikatakan sudah menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus sebagai tempat belajar dan sumber pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu, kajian-kajian mengenai keberadaan perpustakaan di dunia Islam pada masa klasik masih sangat relevan sekali untuk dipelajari.

1.   Pengertian Perpustakaan

George A. Makdisi menyebutkan perpustakaan dikenal dengan beberapa nama, yaitu dar (rumah), bayt (rumah) dan khizanah (gudang), yang digabungkan dengan kata lain al-‘ilm (pengetahuan), al-hikmah (kebijaksanaan), dan al-kutub (buku). Perpustakaan berfungsi sebagai ruang baca, pusat aktivitas akademis dan ruang diskusi. Sementara itu, Sutarno NS menyebutkan, perpustakaan berasal dari kata pustaka yang berarti buku, setelah mendapat awalan per dan akhiran an menjadi perpustakaan, yang berarti kitab, kitab perimbon, atau kumpulan buku-buku, yang kemudian disebut koleksi bahan pustaka. Sedangkan Sulistyo-Basuki menjelaskan, perpustakaan adalah sebuah ruangan, bagian sebuah gedung, ataupun gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca, bukan untuk dijual.

Lalu oleh Rusina Syahrial dan Pamuntjak perpustakaan didefenisikan sebagai kumpulan buku-buku yang tersedia dan dimaksudkan untuk dibaca.  Sedangkan Ibrahim Bafadal mendefenisikan perpustakaan sebagai suatu unit kerja dari suatu badan atau lembaga tertentu yang mengelola bahan-bahan pustaka, baik berupa buku maupun bukan berupa buku (non book material) yang diatur secara sistematis menurut aturan tertentu sehingga dapat digunakan sebagai sumber informasi oleh setiap pemakainya.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa perpustakaan merupakan wadah berhimpunnya sejumlah literatur (buku) yang diperuntukkan bagi mereka yang membutuhkan ilmu. Di abad modern sekarang ini, koleksi perpustakaan tidaklah lagi terbatas kepada buku saja, melainkan mencakup juga rekaman dan cetakan lain yang bukan buku. Umpamanya majalah, surat kabar, pamflet, gambar peta, atlas, piringan hitam, tape, slide, film, film-strip, mikrofilm, dan lain sebagainya.

2.   Perkembangan Perpustakaan di Dunia Islam Masa Klasik

Perkembangan seni produksi buku yang tak ada duanya dalam Islam disebabkan karena ketertarikan para hartawannya yang penuh semangat terhadap buku. Dunia ilmu telah menikmati kedudukan yang sedemikian tinggi, sehingga wajarlah jika orang-orang yang mampu ikut mengambil bagian dan mengusahakan kemajuannya. Al-Qalqasyandi mengatakan bahwa ada tiga perpustakaan besar dalam Islam yaitu perpustakaan Abbasiyah di Baghdad, perpustakaan Fathimiyah di Kairo dan perpustakaan Umayyah di Cordoba.

Perpustakaan Abbasiyah di Baghdad berdiri dalam kaitannya dengan akademi Bayt Al-Hikmah, atau Dar al-Ilm yang didirikan oleh Harun Al-Rasyid (789-809) dan mengalami perkembangan yang pesat pada masa Khalifah Al-Ma’mun (813-833). Tugas akademi itu adalah untuk menyimpan terjemahan-terjemahan buku-buku ilmu-ilmu kuno yaitu filsafat hellenistik dan ilmu alam. Perpustakaan ini lebih menyerupai sebuah universitas dimana terdapat kitab-kitab secara lengkap. Orang-orang datang ke perpustakaan itu untuk membaca, menulis, dan berdiskusi. Di samping itu, perpustakaan ini juga berfungsi sebagai kantor penerjemah, terutama karya-karya kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi, dan ilmu alam. Buku-buku yang diterjemahkan didatangkan dari Bizantium dan daerah-daerah lain. Dalam perkembangan selanjutnya, dan ilmuan Islam telah mengembangkan ilmu-ilmu yang diterjemahkan tersebut mendapatkan temuan-temuan ilmiah yang baru. Disinilah letak sumbangan Islam terhadap ilmu dan peradaban Barat atau dunia.

Di lembaga inilah karya-karya klasik tadi dipelajari secara intens. Tidak hanya sampai di situ, lembaga ini juga mengadakan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan yang telah ditransimisikan tersebut. Dalam perjalanannya lebih lanjut ternyata Bayt al-Hikmah berkembang menjadi sekolah akademisi yang besar. Meskipun pada akhirnya vitalitas Bayt Al-Hikmah sebagai lembaga spesifik di bidang transmisi “ilmu-ilmu non keagamaan” mulai menurun peranannya pada penghujung abad ke-3H/9M, seiring dengan melemahkan kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang dikuasai oleh khalifah-khalifah yang lemah.

Perpustakaan di zaman Fathimiyah juga mengalami kemajuan. Penguasa Dinasti Fathimiyah mendirikan istana yang begitu megah dan sebuah masjid, bernama Al-Azhar. Pada masa kekuasaan khalifah Dinasti Fathimiyah kedua yaitu Al-Aziz (975-996), perpustakaan istana telah berkembang pesat. Secara keseluruhan ada empat puluh koleksi buku di perpustakaan istana, berarti empat puluh ruangan yang penuh berisi buku. Ilmu-ilmu kuno yaitu ilmu alam dan filsafat hellenistik berjumlah 18.000 buku.[17] Di perpustakaan ini para pelajar dapat mempelajari Fiqh Syi’ah, ilmu bahasa, ilmu falak, kedokteran, matematika, falsafah serta mantik.

Perkembangan perpustakaan yang pesat juga terjadi di Cordoba, yang diawali dari Al-Hakam II (961M-976M), yang merupakan cabang dari Bani Umaiyyah, kekhalifahan pertama Islam. Ia mengumpulkan para ilmuwan dan pemimpin masjid, dan masjid besar dari Cordoba dibuat menjadi pusat studi. Perpustakaan yang berada dalam istana Cordoba itu diurus oleh petugas perpustakaan, seorang samin yang bernama Bakiya. Para penyalin dan penjilid buku juga diperkerjakan di sana, dan Al-Hakam mempunyai agen-agen di setiap propinsi yang menyediakan buku untuknya dengan cara membeli dan menyalin. Ibn Hazm mengatakan bahwa Bakiya bercerita kepadanya bahwa katalog judul dan nama-nama pengarang meliputi empat puluh empat bundul yang masih-masih terdiri dari dua puluh halaman.

Al-Qalqasyandi (w. 821H/1418 M) mencatat beberapa perpustakaan besar milik khalifah, di antaranya perpustakaan Abbasiyah di Baghdad, perpustakaan Fatimiyah di Kairo, dan perpustakaan Umayyah di Andalusia. Dia berkata bahwa minat terhadap perpustakaan menurun karena penguasa lebih suka mendirikan perpustakaan perguruan yang mereka bangun. Di tempat itu, perpustakaan lebih dibutuhkan. Dengan demikian, tentunya dapat dipahami bahwa perpustakaan merupakan wujud kebanggaan bagi setiap khalifah pada masa itu yang memiliki pusat dan sumber ilmu pengetahuan Islam.

Secara umum bentuk perpustakaan di dunia Islam yang berkembang pada masa klasik, terbagi kepada dua bentuk, yaitu perpustakaan umum dan perpustakaan pribadi.

a.   Perpustakaan Umum

Perpustakaan umum adalah perpustakaan yang menghimpun koleksi buku, bahan cetakan serta rekaman lain untuk kepentingan masyarakat umum. Perpustakaan umum berdiri sebagai lembaga yang diadakan untuk dan oleh masyarakat. Perpustakaan umum didirikan oleh para khalifah, amir dan hartawan. Perpustakaan di dunia Islam pada masa keemasan itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping kitab-kitab untuk dibaca atau diterjemahkan, di sana juga diperbolehkan berdiskusi.

Berikut ini penulis kemukakan beberapa perpustakaan umum pada masa keemasan Islam:

1)  Perpustakaan umum yang paling terkenal di Baghdad selama masa kepemimpinan Al-Makmun (tahun 1813-833) adalah Bayt al-Hikmah. Lembaga ini menggabungkan perpustakaan, sanggar sastra, lingkaran studi dan observasi.
2)  Perpustakaan di Marv, Persia Timur. Yaqurt yang tinggal di Marv menulis dalam kamus geografinya menjelaskan bahwa kota itu memiliki kota yang besar, dua di antaranya di masjid utama dan sisinya di madrasah-madrasah, ia bahkan diizinkan untuk meminjamkan tak kurang dari dua ratus jilid tanpa bayar. Demikian juga dengan al-Maqrizi, perpustakaan yang didirikan di samping Madrasah Al-Fadhiliyah mempunyai buku sejumlah 100.000 buah. Hal ini terjadi pada masa orang-orang belum mengenal percetakan.
3)   Perpustakaan Madrasah Nizamiyah Baghdad. Perpustakaan di Madrasah ini memuat sekitar 6000 judul. Rak-rak perpustakaan diberi tanda untuk membantu pencari/peminjam dan dibuat pula catatan tentang apakah seri itu komplit atau tidak. Para pekerja di perpustakaan itu membuat peraturan bagi para ilmuwan yang ingin membawa manuskrip untuk di baca secara lebih konsentrasi. Seksi sirkulasi memberlakukan aturan-aturan tertentu tentang prosedur peminjaman buku untuk menjamin keamanan dan pemeliharaan buku secara hati-hati yang menjadi tanggung jawabnya, seorang peminjam tidak boleh menambah catatan pinggir (pada buku-buku yang dipinjamnya), ia juga tidak diperbolehkan membetulkan keseluruhan tanpa persetujuan khusus dari pemilik buku itu. Dalam beberapa kasus, uang jaminan mungkin dipersyaratkan, biasanya pembayaran denda dikenakan bagi orang-orang yang menunda pengembalian buku di luar batas waktu yang ditentukan.
4)   Di Mesir terdapat beberapa perpustakaan. Beberapa contoh perpustakaan seperti Dar al-Hikmah di Kairo didirikan oleh Hakim Bi Amrillah. Ada juga perpustakaan milik khalifah, atau raja, seperti perpustakaan Al-Mu’tashim Billah dengan perpustakaan Fatimiyah yang didirikan di Kairo. Perpustakaan Dar al-Hikmah di Kairo, didirikan pada tahun 1004 di bawah dukungan Dinasti Fathimiyah. Dar al-Hikmah mempunyai pengakuan yang khusus karena perlengkapannya luar biasa. Para pendukungnya yang kaya menyediakan tinta, kertas, meja-meja, dan ruang belajar bagi para ilmuwan dan para pelajar. Dar al-Hikmah berjalan selama lebih satu abad sebagai pusat utama pendidikan tinggi di Mesir sampai Sultan al-Malik al-Afdal kemudian menutupnya pada tahun 1122, ketika ia mengetahui dua orang ilmuwan tamu telah menyampaikan kuliah mengenai ajaran-ajaran yang menyeleweng dalam bagian-bagiannya tertentu. Para penerus Sultan al-Afdal kemudian membuka kembali Dar al-Hikmah itu, tetapi menetapkan hanya bacaan dan khutbah yang dinilai benar-benar ortodok saja yang dapat disampaikan dalam kelas-kelas perkuliahannya.
5) Perpustakaan Universitas Cordoba di Spanyol, didirikan oleh Abdurrahman an-Nasyir. Perpustakaan ini memiliki koleksi ratusan buku, menyaingi perpustakaan-perpustakaan yang berada di Dinasti Abbasiyah. Dikenal juga Al-Hakam II yang juga memelihara perpustakaan di wilayah ini. Al-Hakam II juga dikenal sebagai pemimpin yang memahami secara memadai terhadap isi-isi dan bahasan dari buku-buku yang menjadi koleksi perpustakaannya. Hal ini karena ia telah membaca sejumlah besar buku-buku tersebut dan telah menulis catatan-catatan pinggir didalamnya sebagai respons, komentar atau kritik terhadap buku-buku tersebut.
6) Perpustakaan khalifah Dinasti Fathimiyah kedua, al-Aziz (975-996).  Perpustakaan ini telah berkembang pesat. Diceritakan oleh khalifah, pada suatu kesempatan  ketika buku Al-Halil Kitab Al-Ayn, yaitu kamus sebuah hasil karya salah seorang ahli bahasa Arab pada masa awal, dibawakan oleh petugas perpustakaan kepadanya sebanyak tiga puluh satu salinan, termasuk satu yang bertanda tangan. Ia juga membeli karya-karya al-Thabari seharga seratus dinar walaupun sudah ada lebih dari dua puluh salinan termasuk satu yang bertanda tangan di perpustakaan. Masih di perpustakaan yang sama masih terdapat seratus karya mengenai leksikografi, yaitu Jamhara Karya Ibnu Durayd, yang secara keseluruhan ada empat puluh koleksi buku di perpustakaan istana, yang masing-masing koleksi terdapat di satu ruang, berarti di perpustakaan tersebut terdapat empat puluh ruangan yang penuh berisis buku. Adapun ilmu-ilmu kuno yaitu ilmu alam dan filsafat hellenistik yang ada di perpustakaan tersebut berjumlah 18.000 buku.

b.   Perpustakaan Pribadi

Perpustakaan pribadi artinya perpustakaan yang dikelola secara pribadi dengan tujuan melayani keperluan bahan pustaka bagi kelompok, keluarga, atau individu tertentu. Karena semua dibiayai secara pribadi maka perpustakaan jenis ini hanya melayani keperluan kelompok terbatas pula. Namun untuk contoh-contoh tertentu tidak menutup kemungkinan perpustakaan pribadi digunakan untuk kepentingan umum.

Banyak di antara bangsawan yang dekat dengan golongan Abbasiyah yang mempunyai perpustakaan. Berikut ini penulis kemukakan beberapa perpsutakaan pribadi yang ada pada masa keemasan Islam:

1)   Teman Al-Mutawakkil, Al-Fath Ibn Khaqan (w. 861), yang menurut ibn Al-Nadim sangat bijaksana dan pandai dalam bidang kesustraan. Selalu membuka pintu untuk para sastrawan dan ilmuwan.
2)   Yakut dalam bukunya al-mu’jam menjelaskan bahwa di Karkar di sekitar al-Qans terdapat sepetak tanah yang berharga kepunyaan Ali bin Yahya. Ia membangun untuknya sebuah perpustakaan yang tersohor karena kegunaannya dan ukurannya.
3) Jamaludin al-Qifthi (w. 64 H), ia mengumpulkan buku yang tidak dapat digambarkan. Perpustakaannya selalu dituju oleh orang-orang dari berbagai penjuru karena mengharapkan kemurahan dan kedermawanannya. Ia tidak mencintai selain buku-bukunya ia mewakafkan dirinya untuk buku-buku. Ia mewasiatkan perpustakaannya yang bernilai lima puluh dinar kepada an-Nashir.
4)  Muwafaq bin Muthran Dimasyqi, Abdul al-Daula (587 H), ia mempunyai semangat tinggi untuk mendapatkan buku sehingga tatkala ia meninggal. Di lemarinya terdapat-buku-buku kedokteran dan buku-buku lain sebanyak 10.000 buah. Untuk membantunya, ada tiga orang penyalin itu di beri gaji dan nafkah.
5)   Perpustakaan lain yang lebih cukup menonjol di kalangan muslimin saat itu adalah perpustakaan perpustakaan yang dibangun oleh Abdul Mutrif, seorang hakim di Cordoba, kebanyakan berisi buku-buku langka, masterpiece-masterpieces kaligrafi, mempekerjakan enam orang penyalin yang bekerja penuh waktu. Perpustakaan ini telah terjual dalam satu lelang terbuka setelah ia wafat pada tahun 1011 seharga 40.000 dinar.
6)   Di kalangan Buwayhiyah, Abdul al-Dauladan (w.983) ayah Baha al-Daula dan anggota terpenting dalam kelompok itu, telah mendirikan sebuah perpustakaan di Syiraz yang menurut penilaian al-Maqrizi berukuran sangat besar, adapun nama perpustakaan itu adalah Khiznatul Kutub. Ia menggambarkan perpustakaan tersebut berdiri di suatu komplek yang dikelilingi oleh taman, danau, dan aliran air. Bangunannya diberi kubah di bagian atasnya dan terdiri dari dua tingkat yang menurut kepala petugasnya jumlah total ruangannya adalah 360 ruangan. Rak utama diletakkan di ruangan yang besar dengan beberapa kamar yang berhubungan, semua ini dilengkapi dengan lemari-lemari setinggi tubuh manusia dan dengan pintu-pintu yang diberi dekorasi, di dalam lemari diletakkan buku-buku yang tidak ada satu pun buku yang pernah ditulis pada saat itu dilewatkan, tiap-tiap bagian ada sebuah rak yang berisi katalog. Lantai-lantai dilapisi dengan karpet dan beberapa ruangan didesain khusus, untuk mendapatkan udara yang sejuk dan segar melalui ventilasi yang bekerja di antaranya.
7)   Ibn Sawwar, seorang laki-laki yang kalau bukan karena mendirikan Dar al-Ilm di Basrah, namanya tidak dikenal orang. Ia membangun perpustakaan yang di dalamnya yang besar dan disediakannya beasiswa bagi orang-orang yang datang ke sana untuk belajar dan menyalin buku-buku. Ia juga membangun perpustakaan lain lebih kecil di Ramhurmuz, suatu tempat di sekitar Persia.
8)   Pangeran Dinasti Samaiyyah, Nuh, yang bertempat tinggal di Bukhara (976-977) telah meniru para pendahulunya dalam mengumpulkan orang-orang pitar di istananya. Salah seorang di antaranya adalah ahli filsafat terkenal Ibnu Sina, ia juga sebagai seorang Doktor. Pada suatu ketika ia pernah diundang untuk merawat Nuh ketika sedang Sakit. Ibn Sina minta izin untuk menggunakan perpustakaannya, ternyata di sana ia melihat buku yang berjumlah sangat banyak yang di atur dalam ruangan-ruangan yang terpisah sesuai dengan jenis bukunya, filogi bahasa arab, puisi, etika, dan seterusnya. Beliau memeriksa katalog “ilmu-ilmu kuno” dan tampak olehnya beberapa buku yang judulnya hanya dikenal oleh beberapa orang saja, dan tidak pernah dijumpainya di tempat lain sebelum ini.
9)  Perpustakaan Khazain Al-Qusu di Kairo menyimpan lebih dari 1.6 juta naskah dalam 40 ruangan yang dibangun untuk hal itu. Seluruh perpustakaan mempunyai ruangan yang terpisah untuk para penyalin, tukang jilid, dan pustakawan Muslim dirancang sedemikian rupa sehingga seluruh ruang perpustakaan dapat dilihat dari satu titik pusat dan dilengkapi dengan sebuah rak terbuka yang dekat dengan penyimpanan buku. Kelengkapan buku dan sarana pendukungnya membuat setiap orang yang membacanya menjadi nyaman.
10) Muhammad ibn ‘Umar Al-Waqidi (130-207 H/748-823 M) lahir di Madinah dan wafat di Baghdad. Ia seorag ahli Hadits, Fikih, dan sejarawan Arab terkenal. Ia senang mengembara. Pengembaraannya berkisar di kota-kota Hijaz (Mekkah, Madinah, Ta’rib, dan Jeddah), kota Syiria dan Baghdad. Kepustakaan pribadinya penuh dengan buku. Ia berkata: “Aku belum pernah tahu anak sahabat atau anak orang yang mati syahid, atau budak belian kecuali aku bertanya kepadanya, apakah anda pernah mendengar salah seorang anggota keluargamu yang memberi tahu kepadamu tentang kesyahidan si fulan, dan dimana ia terbunuh? Jika dia memberi informasi kepadaku, aku akan menuju tempat itu untuk menyelidikinya. Demikian gigih ia mengumpulkan informasi pengetahuan untuk menulis buku, sehingga ia layak memiliki perpustakaan.

3.   Faktor Kemajuan Perpustakaan di Dunia Islam Masa Klasik

Sejumlah faktor yang mendukung perkembangan perpustakaan di dunia Islam masa klasik adalah:

a.   Adanya Kegiatan Terjemahan

Abad keemasan peradaban Muslim dimulai dengan bangkitnya Dinasti Abbasyiah pada tahun 132 H/750 M. Masa lima abad Dinasti Abbasiyah merupakan masa berkembangnya para ilmuan Islam. Dinasti ini kurang berminat melakukan penaklukkan sebagaimana Dinasti Umayyah, tetapi lebih berminat besar pada pengetahuan dan masalah dalam negeri.  Hal tersebut dilihat dengan adanya penekanan besar pada upaya penerjemahan dan penyerap pengetahuan dari peradaban lain, termasuk Mesir, Babilonia, Yunani, India, Cina, dan Persia. Dalam kurun tiga fase buku-buku dalam bahasa berbagai bahasa tersebut diterjemahkan dalam bahasa Arab. Fase pertama (312 H/750 M-232 H/847 M), pada masa Khalifah Al-Mansyur hingga Harun Al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua berlangsung pada masa Khalifah Al-Makmun (232H/847 M-334 H/945 M), buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung (334H/945M-347 H/1005 M), terutama setelah adanya pembuatan kertas, bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas. Kegiatan penterjemahannya ini telah memberikan konstribusi besar berdirinya perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam. Dengan adanya perpustakaan, maka setiap orang bisa menikmati kebutuhan mereka terhadap buku yang telah tersedia.

b.   Adanya Pembuatan/Ditemukannya Kertas

Seiring dengan perkembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan dan munculnya karya tulis sarjana, berkembang pula produksi kertas yang tersebar luas di seluruh wilayah Islam. Hal ini kemudian memberikan dorongan besar tidak hanya bagi golongan penulis, penerjemah, dan pengajaran, akan tetapi juga berpengaruh pada geralan pengumpulan naskah. Keadaan ini berlangsung ketika seluruh peradaban Muslim dilanda debat hebat, dan buku menjadi kuncu utama untuk menyampaikan gagasan. Kebutuhan akan buku menyebabkan merebaknya perpustakaan di berbagai penjuru dunia Islam. Mereka berlomba-lomba untuk membeli karangan ilmiah dari para penulis begitu selesai ditulis. Sangatlah jarang istana-istana, masjid-masjid dan madrasah tidak memiliki perpustakaan, termasuk para hartawan dan para ulama yang cinta akan ilmu pengetahuan, hampir semuanya pada memiliki perpustakaan. Secara tidak langsung kondisi ini melahirkan perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam.

c.   Adanya Khalifah yang Mencintai Ilmu Pengetahuan

Dinasti Abbasiyyah terutama pada fase pertama yang dipimpin oleh Khalifah Abu Ja’far Al-Mansyur, Khalifah Harun Al-Rasyid Dan Abdullah Al-Makmun, merupakan khallifah-khalifah yang sangat cinta pada ilmu pengetahuan, yang dengan kecintaannya khalifah sangat menjaga dan memelihara buku-buku, baik yang bernuansa agama atau umum, baik karya ilmuwan muslim maupun non-muslim, baik karya ilmuwan yang sesamanya atau pendahulunya. Harun Al-Rasyid kepada para tentaranya untuk tidak merusak kitab apapun yang ditemukan dalam medan perang. Begitu juga Khalifah Al-Makmun, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan lainnya untuk menerjemahkan buku-buku yunani, sampai pada ahirnya masih pada masa khalifah al-makmun Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, khalifah dari Dinasti Fatimiyah seperti Al-Aziz dan khalifah dari Dinasti Umayyah di Andalusia seperti Al-Hakam II juga menyukai kegiatan pengumpulan buku dan mendirikan perpustakaan di wilayah mereka masing-masing. Ini adalah sebagian khalifah yang turut menyumbangkan pemikiran dan kebijakan mereka sebagai penguasa untuk mendirikan perpustakaan.

4.   Faktor Kehancuran Perpustakaan di Dunia Islam Masa Klasik

Perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam di masa klasik tidak selamanya mampu bertahan dengan segala kondisi masing-masing pemerintahan di wilayah Islam. Adapun petaka-petaka yang menimpa perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam adalah petaka yang ditimpakan oleh tentara Tartar ketika mereka menaklukkan Baghdad, sebelum menghancurkan yang lain, yang pertama dihancurkan adalah perpustakaan. Tentara Tartar melemparkan seluruh buku-buku ke sungai Dajlah sehingga sungai itu penuh dengan buku-buku. Petaka perang Salib[56] juga telah membuat umat Islam kehilangan perpustakaan-perpustakaan yang berharga yang berada di Tripoli, Maarrah, Al-Quds, Ghazah, Asqalan dan di kota-kota lainnya yang dihancurkan mereka. Salah seorang sejarawan menaksir, buku-buku yang dimusnahkan tentara Salib di Tripoli sebanyak tiga juta buah. Kemudian petaka penduduk Spanyol atas Andalusia juga telah membuat umat Islam kehilangan perpustakaan-perpustakaan besar, semua buku dibakar oleh pemeluk agama yang fanatik karena dianggap membahayakan, sehingga buku-buku yang dibakar dalam sehari di lapangan Granada, menurut taksiran sebagian sejarawan berjumlah satu juta buku.

Perpustakaan Khalifah Dinasti Fathimiyah berakhir riwayatnya setelah diserang oleh massa dari kalangan budak Turki. Mereka menyalakan api dalam perpustakaan itu dan seorang budak membagi cover-cover buku, kemudian dijadikan sandal-sandal mereka. Sejumlah besar buku dilemparkan ke sungai Nil dan sebagian di angkut kewilayah-wilyah lain, sedangkan sisanya dikumpulkan dalam tumpukan besar, lalu angin sedikit demi sedikit menerbangkan pasir sehingga gundukan-gundukan itu berubah menjadi bukit dan akhirnya terkenal dengan sebutan “bukit buku”. Sejumlah petaka yang melanda kekuasaan-kekuasaan Islam itulah menyebabkan kehancuran perpustakaan di dunia Islam masa klasik. Banyak manuskrip-manuskrip berharga yang tidak bisa diselamatkan lagi karena berbagai konflik-konflik penguasa Islam di masa itu.


Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Perpustakaan di Dunia Islam Pada Masa Klasik"

Post a Comment