Pages

Sunday, March 12, 2017

Sayyid Amir Ali, Iqbal dan Jinnah Sebagai Tokoh Pembaharuan Pemikiran Islam di India / Pakistan

Salam cerdas…..

1.   Sayyid Amir Ali (1849- 1928: Syiah India

Nama  lengkapnya Amir Ali, Ia dilahirkan di India pada tanggal 6 April 1849.[1] Dia berasal dari keturunan Syi’ah yang pindah dari Khurazan bersama dengan Nahdhirsyah dan menetap di India pada tahun 1736 M.[2]

Semasa kecilnya Amir Ali terkenal sebagai anak yang pintar dan punya etos kerja yang tinggi. Keluarganya bekerja pada Istana raja Mughol dan Awadh dan kompeni India Timur. Syed Amir Ali memperoleh pendidikan di perguruan Tinggi Muhsiniyya Hooghl Calcutta. Kemudian beliau melanjutkan ke Universitas Aligarh dengan mempelajari Bahasa Arab, sastra dan hukum Ingrish. Setelah itu Amir Ali meneruskan pendidikannya di Ingrish pada tahun 1873 ia meraih gelar sarjana hukum.[3]

Amir Ali seorang yang luas pengetahuannya dan terkenal baik di timur maupun di Barat. Dia mengetahui Bahasa Arab dan Persia. Pada masa remajanya ia telah berhubungan dengan sastrawan Ingris sekaligus mendalami hasil-hasil karyanya dan telah membaca novel-novel Shakespeare, Firdausnya Halmilton dan roman Walter Scoott. Dia juga telah membaca buku Gibbon yang berisi sejarah jatuhnya Imperium Romawi. Setelah memperoleh kesarjanahannya dia kembali ke India dan bekerja pada berbagai lapangan penting. Ia menjadi guru besar dalam hukum Islam, pengacara, hukum, pelayan masyarakat, pegawai pemerintah Ingris, politikus, dan juga seorang penulis.[4]

Pokok-pokok Pikiran Sayyid Amir Ali tentang pembaruan Islam dapat diketahui dari bukunya The Spirit Of Islam sebagai berikut:

Pada bagian pertama dalam buku tersebut adalah menyangkut uraian apologi terhadap kehidupan Nabi Muhammad SAW, hal ini dilakukan untuk menunjukan  pada dunia Barat bahwa sifat-sifat Nabi Muhammad itu tidak lain adalah manis, lemah lembut, satria, pemaaf serta belas kasih.[5]

Dengan sikap apologis yang di kumandangkan para pemikir Islam tersebut gunanya adalah mengajak umat Islam meninjau kembali kepada sejarah masa lampau untuk membuktikan bahwa agama Islam yang mereka anut bukanlah agama yang menyebabkan kemunduran dan menghambat kemajuan, akan tetapi sebaliknya. Amir Ali menguraikan mulai dari keadaan kota Mekkah pra Muhammad, kelahirannya, pengangkatannya sebagai rasul, hijrahnya, sampai pada pasca Muhammad seperti penggantinya dan Khalifah-khalifah sesudahnya.

Sedang pada bagian kedua pada buku tersebut ia mulai berbicara tentang Islam itu sendiri. Pada bab pertama Amir Ali berbicara tentang tauhid yaitu tentang keesaan Allah, tidak terwujud benda (materi), kuasa, penyayang dan maha pengasih.[6]

Pada bab kedua ia menjelaskan perihal peribadatan yang dilakukan umat Islam. Konsep sembahyang, puasa, membayar zakat dan naik haji. Dengan peribadatan sembahyang umat Islam mampu menguasai hasrat jiwa manusia untuk mencurahkan cintanya dan rasa syukurnya kepada Tuhan dan mewajibkan sembahyang itu dilakukan dalam waktu tertentu atau yang telah ditentukan. Untuk mencegah supaya pikiran jangan mengembara kepada soal-soal kebendaan, serta nilai sembahyang sebagai jalan untuk meninggikan moral dan mensucikan diri dan hati.

Sedangkan pada bab ketiga, Amir Ali berbicara tentang hari kiamat (hari berbangkit), yang harus dipercaya umat Islam. Di akhirat nanti tiap orang harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di dunia ini. Kesenangan dan kesengsaraan seseorang bergantung pada perbuatannya dihidup pertama. Itulah kenyataan pokok yang harus diterima dalam Islam. Akan tetapi soal bentuk kesenangan dan kesengsaraan yang diperoleh nanti di akhirat umpamanya bukan menjadi soal pokok, perbedaan dalam hal ini boleh saja.[7] Namun ajaran mengenai akhirat ini amat besar arti dan pengaruhnya dalam mendorong manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan Jahat.

Dalam membahas soal perbudakan Syed Amir Ali, menerangkan bahwa sistem perbudakan sudah sejak lama dari zaman purba merata seluruh dunia. Bangsa Yahudi, Romawai dan Jerman pada masa lampau mengakui dan memakai sistem perbudakan. Agama Kristen, demikian selanjutnya ia menulis. Tidak membawa ajaran untuk mengahapus sistem perbudakan itu. Islam berlainan dengan agama-agama sebelumya, datang dengan ajaran untuk membebaskan budak. Budak harus diberikan kebebasan untuk membeli kemerdekaannya dengan upah yang ia peroleh. Budak harus pula diperlakukan dengan baik dan tidak boleh dibedakan dengan manusia lain. Dalam ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW, sistem perbudakan diterima sebagai suatu kenyataan yang terdapat dalam masyarakat dan dapat diterima hanya untuk sementara. Ajaran-ajaran mengenai perlakuan baik dan pembebasan terhadap budak. Pada akhirnya harus membawa kepada penghapusan sistem perbudakan dalam Islam.

Pada bab keempat Syed Amir Ali berbicara tentang semangat jihad, dan jihad menurut konsep Amir Ali ini berbeda dengan konsep jihad dari pemikir Islam lain. Jihad dalam konsepnya merupakan alternatif terakhir yang dilakukan oleh umat Islam, apabila kita diserang maka kita harus berperang atau mempertahankan diri.

Sedang pada bab kelima ia berbicara tentang kedudukan wanita dalam Islam. Menurutnya salah satu ajaran yang asasi dalam Islam ialah menghormati wanita. Rasulullah SAW sangat menghargai hak-hak wanita, ia memberikan kedudukan yang sama antara wanita dengan kaum pria dalam menjalankan segala kekuasaan hukum dan jabatan. Poligami dengan membatasi jumlah maksimum perkawinan dalam masa yang sama dan menciptakan peraturan yang seadil-adilnya mengenai semua kewajiban laki-laki. Amir Ali lebih lanjut mengatakan, hendaklah diingat kenyataan bahwa adanya poligami tergantung keadaan. Ada masa-masa keadaan-keadaan masyarakat. Dimana poligami itu sungguh-sungguh perlu untuk memelihara wanita dari kelaparan atau kemelaratan. Sedangkan pada keadaan tertentu poligami itu tidak diperbolehkan. Dalam masalah politik Amir Ali mengungkapkan bahwa inti sari politik Islam bisa dilihat dari piagam Madinah dan dalam pesan yang dikirim kepada orang kristen di Najran dan daerah-daerah tetangga setelah Islam berdiri di Jazirah Arab. Dokumen tersebut yang kemudian sebagian besar memberikan tuntunan bagi semua penguasa Islam dalam caranya memperlakukan rakyatnya yang bukan Islam. Jika mereka menyeleweng dari padanya dalam menetapkan suatu peristiwa, maka hal itu disebabkan oleh sifat penguasa yang bersangkutan. Sikap toleransi yang tinggi ini hanya ada dalam Islam, seperti sikap yang diberikan kepada pemeluk lain oleh Nabi Muhammad SAW, asal mereka tidak mengingkari janji dan mengganggu, maka hak dan keselamatan mereka terjamin.

Dalam bab ilmu pengetahuan, Amir Ali mengemukakan bahwa kemunduran umat Islam terletak pada keadaan umat Islam yang menganggap pintu Ijtihad telah tertutup dan tidak dibolehkan lagi. Ia memberikan kedudukan yang tinggi terhadap akal, ia menguraikan bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam dahulu karena mereka berpegang teguh kepada ajaran Nabi Muhammad dan berusaha keras melaksanakannya.

Dalam uraiannya mengenai pemikiran dan filsafat dalam Islam, Syed Amir Ali menjelaskan bahwa jiwa yang terdapat dalam Al-Qur’an bukanlah jiwa fatalisme, tetapi jiwa kebebasan manusia dalam berbuat. Dengan jelas ia mengungkapkan bahwa sebenarnya Islam bukan dijiwai oleh paham Jabariah akan tetapi qodriyyah, yaitu faham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan (free  will and free act). Paham inilah yang menimbulkan peradaban Islam zaman klasik. Kaum mu’tazilah mempunyai pengaruh yang penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan.[8]

2.   Muhammad Iqbal (1877-1938): Penyatu Dua KUtub Pemikiran

Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot pada tanggal 9 November 1877. Dia seorang sasterawan, filosof, politikus dan pemikir Islam yang mampu memadukan metode pemikiran barat dengan perenungan timur.[9] Keberadaannya mendominasi kancah pemikiran dan politik Islam di India pada abad ke 20, menggantikan kedudukan Ahmad Khan pada abad sebelumnya.[10]

Dia berasal dari keluarga kelas menengah di Punjab kemudian belajar sampai ke peringkat Master di Lahore. Di kota ini dia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang mendorongnya untuk belajar ke Inggeris. Tahun 1905 Iqbal melanjutkan studinya  di Cambridge untuk mendalami Filsafat. Kemudian pindah ke Munich, Jerman menulis Desertasi berjudul The Development of Metaphysics in Persia.[11]

Tahun 1908 dia kembali ke Lahore bekerja sebagai seorang lawyer dan dosen filsafat di beberapa universitas. Hasil dari kuliah filsafatnya pada akhirnya  menjadi buku  sangat terkenal “The Recontruction of Religious Thought in Islam” yang membahas masalah keagamaan seperti Tuhan, kenabian, hukum, filsafat, tasawuf dan lainnya dengan pendekatan modern dan sangat sistematik.[12]

Inti dari pemikiran pembaharuan Iqbal juga tidak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh lain di India  khususnya dalam meresponi kondisi masyarakat yang zumud dan tertinggal. Selain itu dia juga menolak pemahaman dan pengamalan yang salah tentang konsep zuhud dalam ajaran tasawuf yang menjadi satu penyebab kemunduran umat Islam.[13]

Pemikiran Muhammad Iqbal tentang pembaruan Islam adalah sebagai berikut:
1)   Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam pembaruan Islam dan pintu ijtihad tetap terbuka.
2)  Umat Islam perlu mengembangkan sikap dinamisme. Dalam syiarnya, ia mendorong umat Islam untuk bergerak dan jangan tinggal diam. 
3)   Kemunduran umat Islam disebabkan oleh kebekuan dan kejumudan dalam berpikir.
4)   Hukum Islam tidak bersifat statis, tetapi dapat berkembang sesuai per- kembangan zaman.
5)   Umat Islam harus menguasai sains dan teknologi yang dimiliki Barat.
6)   Perhatian umat Islam terhadap zuhud menyebabkan kurangnya perhatian terhadap masalah-masalah keduniaan dan sosial kemasyarakatan. 

3.   Muhammad Ali Jinnah (1876-1948): Bapak Pakistan

Tokoh yang sezaman dengan Iqbal adalah  Muhammad Ali Jinnah (selanjutnya disebut dengan Jinnah), anak seorang saudagar yang lahir di Karachi pada tanggal 25 Desember 1876. Semenjak masa remaja dia telah meninggalkan India menuju London untuk melanjutkan studi di bidang Hukum dan menjadi pengacara sukses.

Jinnah mulai memasuki dunia politik pada tahun 1906, kemudian bergabung dengan Indian National Congress di bawah bimbingan Dadabhai Naoroji. Pada tahun 1910 dia terpilih menjadi ahli Viceroy’s Legislative Council mewakili masyarakat Muslim Bombay.

Berbeda  dengan tokoh pergerakan Islam sebelum dan sezamannya yang biasanya melalui pendidikan Islam tradisional, Jinnah justru melalui semua pendidikan di sekolah secular. Maka ada sebagian  pendapat menyatakan  bahwa Jinnah pada awalnya tidak lebih dari  seorang nasionalis moderat yang tidak memiliki keterikatan apapun dengan gerakan Islam.[14] Maka wajar jika   pada awalnya dia tidak menolak konsep satu Negara yang dicadangkan masyarakat Hindu dan nasionalis Muslim. Sesudah tahun 1913 barulah Jinnah lebih dekat kepada kepentingan Islam dan mendukung berdirinya Negara Islam Pakistan.[15]

Perubahan pada diri Jinnah terjadi pada April tahun 1913 saat mengunjungi London dan bertemu dengan Maulana Muhammad Ali dan Syed Wazir Hasan. Kedua tokoh ini meminta Jinnah untuk bergabung dengan Liga Muslim.[16]

Ide tentang negara Islam Pakistan sudah mulai ditiupkan oleh Shah Waliullah, lalu dimunculkan oleh Ahmad Khan, dan dikumandangkan oleh Iqbal, akan tetapi Jinnah sesungguhnya orang yang merealisasikannya.[17] Artinya, Jinnah mampu merealisasikan ide-ide tokoh sebelumnya ke alam nyata. Dia lebih cenderung kepada praktisi bukan pemikir.

Walaupun tidak banyak mengeluarkan filsafat dan pemikiran seperti Iqbal, akan tetapi perannya dalam membangun negara Islam Pakistan tidak dapat diingkari. Pada sisi lain perannya mewujudkan negara Islam adalah bukti bahwa  dia tetap berasusmsi Islam sebagai agama yang sempurna, bukan hanya mengatur permasalahan ibadah, akan tetapi juga negara.

Pada hakikatnya pendirian  negara Islam Pakistan yang merdeka  tanggal 15 Agustus 1947[18]  adalah klimaks dari perjuangan umat Islam di India untuk memiliki negara sendiri yang didasari keyakinan bahwa Hindu dan Muslim di India sesungguhnya tidak mungkin dapat bersatu. Karena agama, budaya dan adat yang berbeda akan menjadi penghalang perpaduan bangsa di masa akan datang seperti telah diramalkan oleh Shah Waliullah, Ahmad Khan dan Iqbal.[19]

Kenyataan ini ternyata terbukti dengan berbagai konfik yang terjadi di antara umat Islam dengan umat Hindu, seperti peristiwa bulan May 1923 di Calcuta, Juli 1924 di Bakrid dan Gulburga dan 2 April 1926 di Calcuta yang meninggalkan banyak korban. Bahkan di tahun 1927 saja ada lebih kurang 31 kasus pertumpahan darah.[20]

Penyebab konflik sudah sangat beragam, dari masalah sejarah, politik, agama, bahkan yang terakhir disebabkan oleh masalah ekonomi. Karena  dari aspek terakhir ini umat Islam berada pada tingkatan yang lebih rendah dibandingkan masyarakat Hindu.[21] Namun yang jelas benih konflik itu sudah wujud semenjak awal, dan peristiwa mutini tahun 1857 merupakan salah satu puncaknya.[22]



[1]  Syed Amir Ali,The Spirit Of Islam, terj. Oleh H.B Jassin, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hal 20.
[2] Muhammad Yasir: Syed Amir Ali: Rekonstuksi Islam
[3] Harun Nasution,Loc.cit
[4] Syed Amir Ali, A Short History of The Saracens. Lahoti Fine Press, Delhi 1991, hal ..
[5] Maryam Jamelah,Op.cit.,hal 93-94.
[6] Syed Amir Ali, The Spirit Of Islam, Terj. Oleh H.B Jassin, Op.cit., hal 267.
[7] Harun Nasution, Op.cit., hal 148.
[8] Harun Nasution, Op.cit., hal 108.
[9] John Obert Voll (1982), Islam Continuity and Change in The Modern World, Colorado : Westview Press, h. 224
[10] Aziz Ahmad (1967), op.cit., h. 141
[11] Harun Nasution (1996), op.cit., h.
[12] Aziz Ahmad (1967), op.cit., h. 147
[13] Harun Nasution (1996), op.cit., h.
[14] Ayesha Jalal (2000), Self and Sovereignty Individual and Community in South Asian Islam Since 1840, London and New York : Routledge, h. 182
[15] Asghar Ali Engineer (1985), Indian Muslims : A Study of The Minority Problem in India, Jawahar Nagar, New Delhi : Ajanata Publication, h. 93
[16] S.Abid Husain (1965), op.cit., h. 68
[17] Aziz Ahmad dan G.E.Von Grunebaum (1970), op.cit., h. 153
[18] Y.B.Chavan (1966), Pakistan Her Relation With India 1947-1966, New Delhi : Vir Publisihing House, h. 6-7
[19] Aziz Ahmad (1967), op.cit., h. 165-166
[20] R.C.Majumdar (1963), History of The Freedom
JURNAL USHULUDDIN Vol. XVIII No. 1, Januari 2012 99
Movement in India. Calcuta : K.L.Mukhopadhyay, h. 286 ; Mushir U Haq (1970), Muslim Politics in Modern India, Meruurut, India : Meenakshi Prakashan, h. 55
[21] A.L.Basham (1964), op.cit., h. 12
[22] S.M.Ikram (1964), Muslim Civilization in India, New York : Columbia University Press, h. 291

No comments:

Post a Comment