Salam cerdas…..
1. Sayyid Amir Ali (1849- 1928: Syiah India
Nama
lengkapnya Amir Ali, Ia dilahirkan di India pada tanggal 6 April 1849.[1]
Dia berasal dari keturunan Syi’ah yang pindah dari Khurazan bersama dengan
Nahdhirsyah dan menetap di India pada tahun 1736 M.[2]
Semasa kecilnya Amir Ali terkenal sebagai
anak yang pintar dan punya etos kerja yang tinggi. Keluarganya bekerja pada
Istana raja Mughol dan Awadh dan kompeni India Timur. Syed Amir Ali memperoleh
pendidikan di perguruan Tinggi Muhsiniyya Hooghl Calcutta. Kemudian beliau
melanjutkan ke Universitas Aligarh dengan mempelajari Bahasa Arab, sastra dan
hukum Ingrish. Setelah itu Amir Ali meneruskan pendidikannya di Ingrish pada
tahun 1873 ia meraih gelar sarjana hukum.[3]
Amir Ali seorang yang luas pengetahuannya dan
terkenal baik di timur maupun di Barat. Dia mengetahui Bahasa Arab dan Persia.
Pada masa remajanya ia telah berhubungan dengan sastrawan Ingris sekaligus
mendalami hasil-hasil karyanya dan telah membaca novel-novel Shakespeare,
Firdausnya Halmilton dan roman Walter Scoott. Dia juga telah membaca buku
Gibbon yang berisi sejarah jatuhnya Imperium Romawi. Setelah memperoleh kesarjanahannya
dia kembali ke India dan bekerja pada berbagai lapangan penting. Ia menjadi
guru besar dalam hukum Islam, pengacara, hukum, pelayan masyarakat, pegawai
pemerintah Ingris, politikus, dan juga seorang penulis.[4]
Pokok-pokok Pikiran Sayyid Amir Ali tentang
pembaruan Islam dapat diketahui dari bukunya The Spirit Of Islam sebagai
berikut:
Pada bagian pertama dalam buku tersebut adalah menyangkut uraian apologi terhadap
kehidupan Nabi Muhammad SAW, hal ini dilakukan untuk menunjukan pada dunia Barat bahwa sifat-sifat Nabi
Muhammad itu tidak lain adalah manis, lemah lembut, satria, pemaaf serta belas
kasih.[5]
Dengan sikap apologis yang di kumandangkan
para pemikir Islam tersebut gunanya adalah mengajak umat Islam meninjau kembali
kepada sejarah masa lampau untuk membuktikan bahwa agama Islam yang mereka anut
bukanlah agama yang menyebabkan kemunduran dan menghambat kemajuan, akan tetapi
sebaliknya. Amir Ali menguraikan mulai dari keadaan kota Mekkah pra Muhammad,
kelahirannya, pengangkatannya sebagai rasul, hijrahnya, sampai pada pasca
Muhammad seperti penggantinya dan Khalifah-khalifah sesudahnya.
Sedang pada bagian kedua pada buku tersebut ia mulai berbicara tentang Islam itu sendiri. Pada
bab pertama Amir Ali berbicara tentang tauhid yaitu tentang keesaan Allah,
tidak terwujud benda (materi), kuasa, penyayang dan maha pengasih.[6]
Pada bab kedua ia menjelaskan perihal peribadatan yang dilakukan umat
Islam. Konsep sembahyang, puasa, membayar zakat dan naik haji. Dengan
peribadatan sembahyang umat Islam mampu menguasai hasrat jiwa manusia untuk
mencurahkan cintanya dan rasa syukurnya kepada Tuhan dan mewajibkan sembahyang
itu dilakukan dalam waktu tertentu atau yang telah ditentukan. Untuk mencegah
supaya pikiran jangan mengembara kepada soal-soal kebendaan, serta nilai
sembahyang sebagai jalan untuk meninggikan moral dan mensucikan diri dan hati.
Sedangkan pada bab ketiga, Amir Ali berbicara tentang hari kiamat (hari
berbangkit), yang harus dipercaya umat Islam. Di akhirat nanti tiap orang harus
mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di dunia ini. Kesenangan dan
kesengsaraan seseorang bergantung pada perbuatannya dihidup pertama. Itulah
kenyataan pokok yang harus diterima dalam Islam. Akan tetapi soal bentuk
kesenangan dan kesengsaraan yang diperoleh nanti di akhirat umpamanya bukan
menjadi soal pokok, perbedaan dalam hal ini boleh saja.[7]
Namun ajaran mengenai akhirat ini amat besar arti dan pengaruhnya dalam
mendorong manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan Jahat.
Dalam membahas soal perbudakan Syed Amir Ali, menerangkan bahwa sistem perbudakan sudah
sejak lama dari zaman purba merata seluruh dunia. Bangsa Yahudi, Romawai dan
Jerman pada masa lampau mengakui dan memakai sistem perbudakan. Agama Kristen,
demikian selanjutnya ia menulis. Tidak membawa ajaran untuk mengahapus sistem
perbudakan itu. Islam berlainan dengan agama-agama sebelumya, datang dengan
ajaran untuk membebaskan budak. Budak harus diberikan kebebasan untuk membeli
kemerdekaannya dengan upah yang ia peroleh. Budak harus pula diperlakukan
dengan baik dan tidak boleh dibedakan dengan manusia lain. Dalam ajaran yang
dibawa oleh Muhammad SAW, sistem perbudakan diterima sebagai suatu kenyataan
yang terdapat dalam masyarakat dan dapat diterima hanya untuk sementara.
Ajaran-ajaran mengenai perlakuan baik dan pembebasan terhadap budak. Pada
akhirnya harus membawa kepada penghapusan sistem perbudakan dalam Islam.
Pada bab keempat Syed Amir Ali berbicara tentang semangat jihad, dan
jihad menurut konsep Amir Ali ini berbeda dengan konsep jihad dari pemikir
Islam lain. Jihad dalam konsepnya merupakan alternatif terakhir yang dilakukan
oleh umat Islam, apabila kita diserang maka kita harus berperang atau
mempertahankan diri.
Sedang pada bab kelima ia berbicara tentang kedudukan wanita dalam Islam.
Menurutnya salah satu ajaran yang asasi dalam Islam ialah menghormati wanita.
Rasulullah SAW sangat menghargai hak-hak wanita, ia memberikan kedudukan yang
sama antara wanita dengan kaum pria dalam menjalankan segala kekuasaan hukum
dan jabatan. Poligami dengan membatasi jumlah maksimum perkawinan dalam masa
yang sama dan menciptakan peraturan yang seadil-adilnya mengenai semua
kewajiban laki-laki. Amir Ali lebih lanjut mengatakan, hendaklah diingat
kenyataan bahwa adanya poligami tergantung keadaan. Ada masa-masa
keadaan-keadaan masyarakat. Dimana poligami itu sungguh-sungguh perlu untuk memelihara
wanita dari kelaparan atau kemelaratan. Sedangkan pada keadaan tertentu
poligami itu tidak diperbolehkan. Dalam masalah politik Amir Ali mengungkapkan
bahwa inti sari politik Islam bisa dilihat dari piagam Madinah dan dalam pesan
yang dikirim kepada orang kristen di Najran dan daerah-daerah tetangga setelah
Islam berdiri di Jazirah Arab. Dokumen tersebut yang kemudian sebagian besar
memberikan tuntunan bagi semua penguasa Islam dalam caranya memperlakukan
rakyatnya yang bukan Islam. Jika mereka menyeleweng dari padanya dalam
menetapkan suatu peristiwa, maka hal itu disebabkan oleh sifat penguasa yang
bersangkutan. Sikap toleransi yang tinggi ini hanya ada dalam Islam, seperti
sikap yang diberikan kepada pemeluk lain oleh Nabi Muhammad SAW, asal mereka
tidak mengingkari janji dan mengganggu, maka hak dan keselamatan mereka
terjamin.
Dalam bab ilmu pengetahuan, Amir Ali mengemukakan bahwa kemunduran umat Islam
terletak pada keadaan umat Islam yang menganggap pintu Ijtihad telah tertutup
dan tidak dibolehkan lagi. Ia memberikan kedudukan yang tinggi terhadap akal,
ia menguraikan bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam dahulu karena mereka
berpegang teguh kepada ajaran Nabi Muhammad dan berusaha keras melaksanakannya.
Dalam uraiannya mengenai pemikiran dan
filsafat dalam Islam, Syed Amir Ali menjelaskan bahwa jiwa yang
terdapat dalam Al-Qur’an bukanlah jiwa fatalisme, tetapi jiwa kebebasan manusia
dalam berbuat. Dengan jelas ia mengungkapkan bahwa sebenarnya Islam bukan
dijiwai oleh paham Jabariah akan tetapi qodriyyah, yaitu faham kebebasan
manusia dalam kemauan dan perbuatan (free
will and free act). Paham inilah yang menimbulkan peradaban Islam
zaman klasik. Kaum mu’tazilah mempunyai pengaruh yang penting dalam perkembangan
ilmu pengetahuan.[8]
2. Muhammad Iqbal (1877-1938): Penyatu Dua KUtub
Pemikiran
Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot pada
tanggal 9 November 1877. Dia seorang sasterawan, filosof, politikus dan pemikir
Islam yang mampu memadukan metode pemikiran barat dengan perenungan timur.[9]
Keberadaannya mendominasi kancah pemikiran dan politik Islam di India pada abad
ke 20, menggantikan kedudukan Ahmad Khan pada abad sebelumnya.[10]
Dia berasal dari keluarga kelas menengah di
Punjab kemudian belajar sampai ke peringkat Master di Lahore. Di kota ini dia
bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang mendorongnya untuk
belajar ke Inggeris. Tahun 1905 Iqbal melanjutkan studinya di Cambridge untuk mendalami Filsafat.
Kemudian pindah ke Munich, Jerman menulis Desertasi berjudul The Development of
Metaphysics in Persia.[11]
Tahun 1908 dia kembali ke Lahore bekerja
sebagai seorang lawyer dan dosen filsafat di beberapa universitas. Hasil dari
kuliah filsafatnya pada akhirnya menjadi
buku sangat terkenal “The
Recontruction of Religious Thought in Islam” yang membahas masalah
keagamaan seperti Tuhan, kenabian, hukum, filsafat, tasawuf dan lainnya dengan
pendekatan modern dan sangat sistematik.[12]
Inti dari pemikiran pembaharuan Iqbal juga
tidak jauh berbeda dengan tokoh-tokoh lain di India khususnya dalam meresponi kondisi masyarakat
yang zumud dan tertinggal. Selain itu dia juga menolak pemahaman dan pengamalan
yang salah tentang konsep zuhud dalam ajaran tasawuf yang menjadi satu penyebab
kemunduran umat Islam.[13]
Pemikiran Muhammad Iqbal tentang pembaruan
Islam adalah sebagai berikut:
1) Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam
pembaruan Islam dan pintu ijtihad tetap terbuka.
2) Umat Islam perlu mengembangkan sikap
dinamisme. Dalam syiarnya, ia mendorong umat Islam untuk bergerak dan jangan
tinggal diam.
3) Kemunduran umat Islam disebabkan oleh
kebekuan dan kejumudan dalam berpikir.
4) Hukum Islam tidak bersifat statis, tetapi
dapat berkembang sesuai per- kembangan zaman.
5) Umat Islam harus menguasai sains dan
teknologi yang dimiliki Barat.
6) Perhatian umat Islam terhadap zuhud
menyebabkan kurangnya perhatian terhadap masalah-masalah keduniaan dan sosial
kemasyarakatan.
3. Muhammad Ali Jinnah (1876-1948): Bapak
Pakistan
Tokoh yang sezaman dengan Iqbal adalah Muhammad Ali Jinnah (selanjutnya disebut
dengan Jinnah), anak seorang saudagar yang lahir di Karachi pada tanggal 25
Desember 1876. Semenjak masa remaja dia telah meninggalkan India menuju London
untuk melanjutkan studi di bidang Hukum dan menjadi pengacara sukses.
Jinnah mulai memasuki dunia politik pada tahun 1906,
kemudian bergabung dengan Indian National Congress di bawah bimbingan Dadabhai
Naoroji. Pada tahun 1910 dia terpilih menjadi ahli Viceroy’s Legislative Council
mewakili masyarakat Muslim Bombay.
Berbeda dengan
tokoh pergerakan Islam sebelum dan sezamannya yang biasanya melalui pendidikan
Islam tradisional, Jinnah justru melalui semua pendidikan di sekolah secular.
Maka ada sebagian pendapat menyatakan bahwa Jinnah pada awalnya tidak lebih
dari seorang nasionalis moderat yang
tidak memiliki keterikatan apapun dengan gerakan Islam.[14]
Maka wajar jika pada awalnya dia tidak
menolak konsep satu Negara yang dicadangkan masyarakat Hindu dan nasionalis
Muslim. Sesudah tahun 1913 barulah Jinnah lebih dekat kepada kepentingan Islam
dan mendukung berdirinya Negara Islam Pakistan.[15]
Perubahan pada diri Jinnah terjadi pada April tahun 1913
saat mengunjungi London dan bertemu dengan Maulana Muhammad Ali dan Syed Wazir
Hasan. Kedua tokoh ini meminta Jinnah untuk bergabung dengan Liga Muslim.[16]
Ide tentang negara Islam Pakistan sudah mulai ditiupkan
oleh Shah Waliullah, lalu dimunculkan oleh Ahmad Khan, dan dikumandangkan oleh
Iqbal, akan tetapi Jinnah sesungguhnya orang yang merealisasikannya.[17]
Artinya, Jinnah mampu merealisasikan ide-ide tokoh sebelumnya ke alam nyata.
Dia lebih cenderung kepada praktisi bukan pemikir.
Walaupun tidak banyak mengeluarkan filsafat dan pemikiran
seperti Iqbal, akan tetapi perannya dalam membangun negara Islam Pakistan tidak
dapat diingkari. Pada sisi lain perannya mewujudkan negara Islam adalah bukti
bahwa dia tetap berasusmsi Islam sebagai
agama yang sempurna, bukan hanya mengatur permasalahan ibadah, akan tetapi juga
negara.
Pada hakikatnya pendirian
negara Islam Pakistan yang merdeka
tanggal 15 Agustus 1947[18] adalah klimaks dari perjuangan umat Islam di
India untuk memiliki negara sendiri yang didasari keyakinan bahwa Hindu dan
Muslim di India sesungguhnya tidak mungkin dapat bersatu. Karena agama, budaya
dan adat yang berbeda akan menjadi penghalang perpaduan bangsa di masa akan
datang seperti telah diramalkan oleh Shah Waliullah, Ahmad Khan dan Iqbal.[19]
Kenyataan ini ternyata terbukti dengan berbagai konfik
yang terjadi di antara umat Islam dengan umat Hindu, seperti peristiwa bulan
May 1923 di Calcuta, Juli 1924 di Bakrid dan Gulburga dan 2 April 1926 di
Calcuta yang meninggalkan banyak korban. Bahkan di tahun 1927 saja ada lebih
kurang 31 kasus pertumpahan darah.[20]
Penyebab konflik sudah sangat beragam, dari masalah
sejarah, politik, agama, bahkan yang terakhir disebabkan oleh masalah ekonomi.
Karena dari aspek terakhir ini umat
Islam berada pada tingkatan yang lebih rendah dibandingkan masyarakat Hindu.[21]
Namun yang jelas benih konflik itu sudah wujud semenjak awal, dan peristiwa
mutini tahun 1857 merupakan salah satu puncaknya.[22]
[1]
Syed Amir Ali,The Spirit Of Islam, terj. Oleh H.B Jassin, Bulan Bintang,
Jakarta, 1978, hal 20.
[2] Muhammad Yasir: Syed Amir Ali:
Rekonstuksi Islam
[3] Harun Nasution,Loc.cit
[4] Syed Amir Ali, A Short History of The
Saracens. Lahoti Fine Press, Delhi 1991, hal ..
[5] Maryam Jamelah,Op.cit.,hal 93-94.
[6] Syed Amir Ali, The Spirit Of Islam,
Terj. Oleh H.B Jassin, Op.cit., hal 267.
[7] Harun Nasution, Op.cit., hal 148.
[8] Harun Nasution, Op.cit., hal 108.
[9] John Obert Voll (1982), Islam
Continuity and Change in The Modern World, Colorado : Westview Press, h. 224
[10] Aziz Ahmad (1967), op.cit., h. 141
[11] Harun Nasution (1996), op.cit., h.
[12] Aziz Ahmad (1967), op.cit., h. 147
[13] Harun Nasution (1996), op.cit., h.
[14] Ayesha Jalal (2000), Self and
Sovereignty Individual and Community in South Asian Islam Since 1840, London
and New York : Routledge, h. 182
[15] Asghar Ali Engineer (1985), Indian
Muslims : A Study of The Minority Problem in India, Jawahar Nagar, New Delhi :
Ajanata Publication, h. 93
[16] S.Abid Husain (1965), op.cit., h. 68
[17] Aziz Ahmad dan G.E.Von Grunebaum (1970),
op.cit., h. 153
[18] Y.B.Chavan (1966), Pakistan Her
Relation With India 1947-1966, New Delhi : Vir Publisihing House, h. 6-7
[19] Aziz Ahmad (1967), op.cit., h.
165-166
[20] R.C.Majumdar (1963), History of The
Freedom
JURNAL USHULUDDIN Vol. XVIII No. 1, Januari 2012 99
Movement in India. Calcuta : K.L.Mukhopadhyay, h. 286 ;
Mushir U Haq (1970), Muslim Politics in Modern India, Meruurut, India :
Meenakshi Prakashan, h. 55
[21] A.L.Basham (1964), op.cit., h. 12
[22] S.M.Ikram (1964), Muslim Civilization
in India, New York : Columbia University Press, h. 291
No comments:
Post a Comment