Pages

Friday, December 30, 2016

Tradisi Keilmuan Pesantren atau Pola Keilmuan Pesantren

Salam cerdas…..

Pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak-kontak pribadi maupun kolektif antara mubaligh (pendidik) dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim terbentuk di suatu daerah tersebut tentu, mereka membangun tempat peribadatan dalam hal ini masjid. Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama muncul di samping rumah tempat kediaman ulama atau mubaligh. Setelah itu muncullah lembaga pendidikan lainnya seperti pesantren, dayah, ataupun surau dan meunasah. Nama-nama tersebut walaupun berbeda, tetapi hakikatnya sama yakni sebagai tempat untuk menuntut ilmu pengetahuan keagamaan. Perbedaan nama itu hanya dipengaruhi oleh perbedaan tempat.

Inti dari pesantren itu adalah pendidikan ilmu agama, dan sikap beragama. Karenanya mata pelajaran yang diajarkan semata-mata pelajaran agama. Pada tingkat dasar anak didik baru diperkenalkan tentang dasar agama, dan Al-Qur’an Al-Karim. Setelah berlangsung beberapa lama pada saat anak didik telah memiliki kecerdasan tertentu, maka mulailah diajarkan kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik ini juga diklasifikasikan kepada tingkat dasar, menengah dan tinggi. Mahmud Yunus membagi pesantren pada tahap-tahap awal iru kepada empat tingkatan, yaitu: tingkat dasar, menengah, tinggi, dan takhassun. Sejak awal pertumbuhannya, fungsi utama pondok pesantren adalah: (1) menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih dikenal dengan tafaqquh fiddin, yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat Islam. Kemudian diikuti dengan tugas (2) dakwah menyebarkan agama Islam dan (3) benteng pertahanan mata dalam bidang akhlak. Sejalan dengan fungsi hal ini, materi yang diajarkan dalam pondok pesantren  semuanya terdiri dari materi agama yang diambil dari kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab.

Usaha untuk mengidentifikasi pesantren dilakukan juga oleh Kafrawi. Ia mencoba membagi pola pesantren menjadi empat pola, yaitu:

a.   Pesantren pola I ialah pesantren yang mempunyai unit kegiatan dan elemen berupa masjid dan rumah kiai. Pesantren ini masih sederhana. Kiai mempergunakan masjid atau rumahnya untuk tempat mengaji biasanya santri datang dari daerah sekitarnya, namun pengajian telah diselenggarakan secara kontinyu dan sistematik. 
b.   Pesantren pola II sama dengan pola I ditambah adanya pondokan bagi santri.
c.  Pesantren pola III sama dengan pola II tetapi ditambah adanya madrasah. Jadi pesantren pola III ini telah ada pengajian sistem klasikal.
d. Sedangkan pesantren pola IV ialah pesantren pola III ditambah adanya unit keterampilan seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah, ladang, dan lain-lain.

Sejarah pada awal dan pembentukan dan pendirian pesantren tidak dilakukan sekaligus sebagaimana pembangunan satu kompleks perkantoran atau sekolah, akan tetapi biasanya dimulai dari pengajian-pengajian kecil di masjid-masjid atau di mushola yang disampaikan oleh seorang kiai yang memiliki keahlian di salah satu fakultas pengetahuan agama Islam. Kiai tersebut biasanya sudah pernah bermukim bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun di Mekkah/Madinah, atau pernah mengaji kepada seorang kiai terkenal di tanah air.

Kemudian ketika pulang ke daerahnya mereka mentrasformasikan pengetahuan tentang ilmu-ilmu agama yang didapatkan kepada masyarakatnya. Semula pengajian hanya berisi pengajian-pengajian yang berisi pemahaman keagamaan yang berkenaan dengan aspek-aspek ibadah ritual, seperti shalat, berwudhu yang baik, dan sedikit penyampaian tentang tata karma dan etika dalam masyarakat. Pengajaran yang berlangsung di masjid dan mushola-mushola, kadang dilakukan secara bergiliran dengan pindah-pindah tempat. Pengajarannya tidak pernah mengenal istilah “bayaran” untuk menggaji. Seluruh kiai yang mengajar karena motivasi awal dalam pengajaran ini adalah semata-mata untuk menyebarkan agama Islam.

Bagi mereka yang berasal dari dekat biasanya berangkat mengaji dari rumah mereka namun bagi mereka yang berasal dari luar daerah yang cukup jauh biasanya atas dasar kesadaran sendiri mendirikan bangunan-bangunan sederhana di seitar masjid atau surau untuk dijadikan tempat bermukim. Tempat bermukim inilah yang disebut sebagai pondok atau pondok pesantren sedangkan mereka yang belajar disebut dengan istilah santri mukim sedangkan santri yang pulang pergi dari rumah mereka disebut dengan istilah santri kalong.

Para santri biasanya berusia antara 12 sampai 25 tahun namun bukan berarti tidak ada santri yang berusia di bawah ataspun di atas batasan tersebut. Mereka yang berada di bawah umur 12 tahun biasanya masuk di pesantren-pesantren khusus yang menitikberatkan pada pendidik anak-anak sedangkan yang diatas usia 95 tahun biasanya masih di pesantren khusus thariqah. Para santri biasanya mengaji kepada kiai di masjid atau surau dengan membawa kitab kuning. Sistem pengajian semacam ini biasa disebut sebagai pengajian bandongan atau wetonan, dimana kiai mengartikan kata demi kata dan para santri secara keseluruhan mengartikan kitab yang dibacakan dan mendengarkan keterangan yang diulas oleh kiai.

Setelah datangnya kaum penjajah Barat (Belanda), peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam semakin kokoh pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang reaksional terhadap penjajah. Karena itu, di zaman Belanda sangat kontras sekali pendidikan di pesantren dengan pendidikan di sekolah-sekolah umum. Pesantren semata-mata mengajarkan ilmu-ilmu agama sekali tidak semata-mata mengajarkan ilmu-ilmu agama lewat kitab-kitab klasik, sedangkan sekolah umum Belanda sama sekali tidak mengajar pendidikan agama. Sistem pendidikan pesantren metode, sarana fasilitas serta yang lainnya masuk sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah Kolonial Belanda, Non Klasikal, metodenya sorongan, watonan hafalan.

Dalam perkembangan berikutnya pesantren mengalami dinamika, kemampuan dan kesediaan pesantren untuk mengadopsi nilai-nilai baru akibat modernisasi, menjadi pesantren berkembang dari yang tradisional ke moderatan. Karena itu hingga saat sekarang pesantren tersebut dibagi dua secara garis besar. Pertama pesantren salafi dan yang kedua khalafi. Pesantren salafi adalah pesantren yang masih terikat dengan sistem dan pola lama, sedangkan pesantren khalafi adalah pesantren yang telah menerima unsur-unsur pembaruan. Hingga saat ini perbedaan itu, masih nampak dalam kurikulum yang digunakan di setiap pesantren di Indonesia.



Tuesday, December 27, 2016

Asal Usul dan Perkembangan Pesantren

Salam cerdas…..

Istilah “pesantren” diambil dari kata “santri” mendapat penambahan “pe” di depan dan “an” di akhir, dalam bahasa Indonesia  berarti tempat tinggal santri, tempat dimana para pelajar mengikuti pelajaran Agama. Istilah ‘santri” diambil dari kata shastri (Castri = India), dalam bahasa Sansekerta bermakna orang yang mengetahui kitab suci Hindu. Pada perkembangannya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang dibuat pada awalnya seperti rumah yang dikhususkan untuk kegiatan santri belajar.

Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri. Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Di samping itu kata “pondok” mungkin juga berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti hotel atau asrama.

Pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren tidak terlepas dari hubungan dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia bermula ketika orang-orang yang masuk Islam ingin mengetahui lebih banyak isi ajaran agama yang baru dipeluknya, baik mengenai tata cara beribadah, baca Al-Qur’an, dan mengetahui Islam yang lebih luas dan mendalam. Mereka ini belajar di rumah, surau, langgar atau masjid. Di tempat-tempat inilah orang-orang yang baru masuk Islam dan anak-anak mereka belajar membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya, secara individual dan langsung. Dalam perkembangannya untuk lebih mendalam ilmu agama telah mendorong tumbuhnya pesantren yang merupakan tempat untuk melanjutkan belajar agama setelah tamat belajar di surau, langgar atau masjid. Model pendidikan pesantren ini berkembang di seluruh Indonesia dengan nama dan corak yang sangat bervariasi. Di Jawa disebut pondok pesantren, di Aceh dikenal rangkang, di Sumatera Barat dikenal Surau, nama sekarang yang dikenal umum adalah pondok pesantren. Menurut Zamaksyari Dofier ada lima unsur pokok pesantren: Kiai, Santri, Masjid, pondok dan pengajaran kitab-kitab klasik.

Pondok pesantren di Indonesia mulai tercatat keberadaan dan perkembangannya mulai abad ke-16. Karya-karya jawab klasik seperti Serat Cabolek dan Serat Cenini mengungkapkan uraian yang menjadi bukti adanya lembaga-lembaga yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fikih, tasawuf, dan menjadi pusat-pusat penyiaran agama Islam yaitu pondok pesantren. Berdasarkan hasil pendataan yang dilaksanakan oleh Departemen Agama pada tahun 1984-1985 diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 di Pemekasan Madura, dengan nama pesantren Jan Tampes II. Akan tetapi hal ini juga diragukan, karena tentunya ada pesantren Jan Tampes I yang lebih tua.

Pendapat lain mengatakan, pesantren yang pertama berdiri di tanah Jawa didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim yang di kenal dengan Syeikh Maghribi di masa Wali Songo, seorang ulama yang berasal dari Gujarat, India. Sebagai ulama yang berasal dari India tidaklah sulit baginya untuk mendirikan pesantren karena sebelumnya sudah ada institusi pendidikan Hindu-Budha dengan sistem biara dan asrama sebagai tempat belajar mengajar bagi para biksu dan pendeta. Selanjutnya pesantren oleh beberapa anggota dari Wali Songo yang menggunakan pesantren sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Sunan Bonang mendirikan pesantren di Tuban, Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel di Surabaya, sunan giri mendirikan pesantren di Sidomukti yang kemudian tempat ini lebih dikenal dengan sebutan Giri Kedaton.

Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai orang pertama mendirikan pesantren. Apabila ditelusuri sejarah pendidikan di Jawa, sebelum datangnya agama Islam telah ada lembaga pendidikan Jawa Kuno yang praktik kependidikannya sama dengan pesantren. Lembaga pendidikan Jawa Kuno itu bernama pawiyatan, di lembaga tersebut tinggal Ki Hajar dengan Cantrik. Ki Hajar orang yang mengajar dan Cantrik orang yang diajar. Kedua kelompok ini tinggal di satu komplek dan di sini terjadilah proses belajar mengajar.

Sugarda Poerbakawatja telah meneliti bahwa pesantren lebih mirip lembaga pendidikan Hindu ketimbangan pendidikan Arab, karena memang awalnya lembaga ini merupakan lembaga pendidikan agama Hindu. Hanya saja filosofinya dirubah ketika masyarakat Islam mulai menguasai lembaga pendidikan ini.

Keberadaan wali Songo yang juga pelopor berdirinya pesantren dalam perkembangan Islam di Jawa sangatlah penting sehubungan dengan peranannya yang sangat berjuang, Wali Songo melakukan proses yang tak berujung, gradual dan berhasil dalam menciptakan suatu tatanan masyarakat santri yang saling damai dan berdampingan. Satu pendekatan yang sangat berkesesuaian dengan filsafat hidup masyarakat Jawa yang menekankan stabilitas, keamanan dan harmoni. Pendekatan Wali Songo, yang kemudian melahirkan pesantren dengan segala tradisinya, perilaku dan pola hidup soleh dengan mencontoh dan mengikuti para pendahulu yang terbaik, mengarifi budaya dan tradisi lokal merupakan ciri utama masyarakat pesantren.

Kemudian, mengikuti hipotesa Steenbrink (1986) yang mengatakan bahwa sejak permulaan abad ke-20 telah terjadi perubahan besar dalam pendidikan Islam Indonesia atau pesantren. Perubahan, atau lebih tepatnya pergeseran, ini terjadi karena beberapa faktor. pertama, kolonialisme dan sistem pendidikan liberal. Propaganda sistem pendidika liberal yang diusung Belanda tentu saja berdampak pada sistem pendidikan pesantren. Kedua, orientasi keilmuan pendidikan pesantren. Tidak seperti pada abad ke XVI-XVIII, orientasi keilmiah pesantren abad XX tidak lagi terpusat ke Hijaz melainkan merambah ke wilayah Timur Tengah lainnya, semisalnya Mesir, Baghdad, atau bahkan ke Eropa. Ketiga, munculnya gerakan pembaharuan di dunia Islam, yang mengkritik eksistensi pesantren yang dikatakan sebagai lembaga pendidikan yang masih terbelakang hanya mengajarkan ilmu agama saja.

Walaupun pada masa penjajahan, pondok pesantren mendapat tekanan dari pemerintah kolonial Belanda, pondok pesantren masih bertahan terus dan tetap tegak berdiri, walaupun sebagian besar berada daerah pedesaan. Peranan mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa tetap diembannya telah banyak kader-kader bangsa dan tokoh-tokoh perjuangan nasional dilahirkan oleh pesantren. Bahkan pada masa masa perjuangan kemerdekaan, banyak tokoh pejuang dan pahlawan-pahlawan kemerdekaan yang berasal dari pesantren. Demikian besar peran pesantren dalam melahirkan tokoh agama, ulama dan intelektual muslim sampai saat ini.

Pada awal abad ke-20, sistem pesantren dengan corak klasik yang sesuai sistem pendidikan Barat, mulai diperkenalkan dalam penyelenggaraan pendidikan di Nusantara, sehingga sampai saat ini, sebagian pesantren telah memformalasikan sistem pendidikannya. Ketika Mukti Ali menjabat Menteri Agama, ia mengadakan pembaruan pesantren dengan membuka sekolah–sekolah umum (SD, SMP, dan SMU), di samping madrasah (MI, MTS, dan MA) pada lembaga pesantren, dan memasukkan materi pelajaran umum kepada lembaga pendidikan keagamaan tersebut dengan perbandingan 30% pelajaran umum dan 70% pelajaran agama. Dalam perkembangannya, jumlah penduduk pesantren yang mencatat di dirjen pendidikan dasar dan menengah sebanyak 8000 buah fomalisasi pesantren sejak awal abad ke-20 telah “memaksa” 3000 pesantren menyelenggarakan pendidikan formal (SD/MI, MTS,SMP, MA/SMU dan PT Agama Islam/PT Umum). Sementara sisanya yang 5000 buah masih murni sebagai lembaga yang berfungsi tafaquh fi al-din. Hingga saat ini pesantren terus melakukan reformulasi kurikulum untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai tuntutan zaman.



Sunday, December 11, 2016

Sejarah Pendidikan Islam Indonesia Pada Masa Orde Lama

Salam cerdas…..

Pada awal kemerdekaan, pemerintah dan bangsa Indonesia mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang dualisme, yaitu sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum bercorak sekuler, tak mengenal ajaran agama, yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda dan sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Islam sendiri. Kedua sistem pendidikan tersebut sering dianggap saling bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain.

Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) mengusulkan “hendaknya diadakan satu macam sekolah untuk segala lapisan masyarakat atau mengintegrasikan kedua sistem pendidikan warisan budaya bangsa tersebut”, yaitu pemberian pengajaran agama secara teratur dan seksama di sekolah-sekolah yang bersifat sekuler dan netral terhadap agama serta bercorak kolonial. Sehingga menjadi sekolah-sekolah yang bersendi agama dan kebudayaan bangsa, sebagaimana dikehendaki oleh pendiri bangsa dan negara ini. Sedangkan pemberian tuntunan dan bantuan kepada madrasah dan pesantren-pesantren dimaksudkan agar lembaga pendidikan Islam mampu meningkatkan usaha dan peran sertanya sebagai alat pendidikan dan pencerdasan kehidupan bangsa serta mampu berkembang dan mengadakan pembaharuan secara terintegrasi dalam satu pendidikan nasional.

Kenyataan yang demikian timbul karena kesadaran umat Islam yang dalam, setelah sekian lama terpuruk di bawah kekuasaan penjajah. Sebab pada zaman penjajahan Belanda pintu masuk pendidikan modern bagi umat Islam terbuka secara sangat sempit. Dalam hal ini, minimal ada dua hal yang menjadi penyebabnya, yaitu:
a.  Sikap dan kebijakan pemerintah kolonial yang amat deskriminatif terhadap kaum muslimin.
b.  Politik non kooperatif para ulama terhadap Belanda yang memfatwakan bahwa ikutserta dalam budaya Belanda, termasuk pendidikan modernnya, adalah suatu bentuk penyelewengan agama. Mereka berpegangan pada salah satu hadist nabi Muhammad saw yang artinya “barang siapa menyerupai suatu golongan, maka ia termasuk ke dalam golongan itu”  hadis tersebut  melandasi sikap para ulama pada waktu itu.

Di tengah-tengah berkobarnya revolusi fisik, pemerintah tetap membina pendidikan agama. Khusus untuk mengelola pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah umum tersebut, maka pada bulan Desember 1946, dikeluarkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama, yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama pada sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta), yang berada di bawah kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

Maka sejak itulah terjadi dualisme (dikhotomi) pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Di satu pihak, Departmen Agama mengelola semua jenis pendidikan agama baik di sekolah-sekolah agama maupun di sekolah-sekolah umum.  Di pihak lain, pihak Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengelola pendidikan pada umumnya dan mendapatkan kepercayaan untuk  melaksanakan sistem pendidikan nasional. Kejadian seperti ini sempat dipertentangkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak senang dengan pendidikan agama terutama golongan komunis, sehingga ada kesan seakan-akan pendidikan agama khususnya Islam, terpisah dari pendidikan.

Selanjutnya pendidikan agama diatur secara khusus dalam UU Nomor 4 tahun 1950 pada BAB XII Pasal 20, yaitu:
a. Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
b. Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.

Pada tahun 1958, pemerintah mendorong untuk mendirikan madrasah negeri dengan ketentuan kurikulum 30% pelajaran agama dan 70% untuk pelajaran umum. Dalam perkembangannya, kurikulum pendidikan agama dari waktu-kewaktu senantiasa mengalami perubahan seiring dengan kemajuan zaman. Semua ini dilakukan adalah dengan tujuan peningkatan kualitas pendidikan agama di lembaga pendidikan agama dan menghilangkan pengaruh dikotomi dalam dunia pendidikan Islam selama ini di Indonesia.   

Menyangkut upaya membangun pendidikan Islam secara terpadu untuk mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Pendidikan Islam di beberapa negara Islam yang mayoritas penduduknya beragama Islam termasuk Indonesia tidak lebih dari duplikasi terhadap pendidikan di negara negara Barat sekuler. Dengan demikian produk sistem pendidikan Barat tidak mungkin menjadi atau berupa alternatif. Karena itu, tantangan yang mendasar bagi pendidikan Islam saat ini adalah mencari sistem pendidikan alternatif sebagai sintesa dari berbagai sistem pendidikan yang pernah ada. Bagaimana wujud sintesa tersebut yaitu perlunya pendidikan Islam yang lebih menitikberatkan pada aspek afektif seimbang dengan segi kognitif, serta memadukan secara harmonis pendidikan formal, non formal dan informal.



Saturday, December 10, 2016

Pengertian Pesantren dan Tradisi Keilmuan Pesantren

Salam cerdas…..

a.   Pengertian
Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri. Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Di samping itu kata “pondok” mungkin juga berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti hotel atau asrama.

Istilah “pesantren” diambil dari kata “santri” mendapat penambahan “pe” di depan dan “an” di akhir, dalam bahasa Indonesia  berarti tempat tinggal santri, tempat dimana para pelajar mengikuti pelajaran Agama. Istilah ‘santri” diambil dari kata shastri (Castri = India), dalam bahasa Sansekerta bermakna orang yang mengetahui kitab suci Hindu. Pada perkembangannya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang dibuat pada awalnya seperti rumah yang dikhususkan untuk kegiatan santri belajar.

b.   Tradisi Keilmuan
Pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren tidak terlepas dari hubungan dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia bermula ketika orang-orang yang masuk Islam ingin mengetahui lebih banyak isi ajaran agama yang baru dipeluknya, baik mengenai tata cara beribadah, baca Al-Qur’an, dan mengetahui Islam yang lebih luas dan mendalam. Mereka ini belajar di rumah, surau, langgar atau masjid. Di tempat-tempat inilah orang-orang yang baru masuk Islam dan anak-anak mereka belajar membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya, secara individual dan langsung. Dalam perkembangannya untuk lebih mendalam ilmu agama telah mendorong tumbuhnya pesantren yang merupakan tempat untuk melanjutkan belajar agama setelah tamat belajar di surau, langgar atau masjid. Model pendidikan pesantren ini berkembang di seluruh Indonesia dengan nama dan corak yang sangat bervariasi. Di Jawa disebut pondok pesantren, di Aceh dikenal rangkang, di Sumatera Barat dikenal Surau, nama sekarang yang dikenal umum adalah pondok pesantren. Menurut Zamaksyari Dofier ada lima unsur pokok pesantren: Kiai, Santri, Masjid, pondok dan pengajaran kitab-kitab klasik.

Pondok pesantren di Indonesia mulai tercatat keberadaan dan perkembangannya mulai abad ke-16. Karya-karya jawab klasik seperti Serat Cabolek dan Serat Cenini mengungkapkan uraian yang menjadi bukti adanya lembaga-lembaga yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fikih, tasawuf, dan menjadi pusat-pusat penyiaran agama Islam yaitu pondok pesantren. Berdasarkan hasil pendataan yang dilaksanakan oleh Departemen Agama pada ahun 1984-1985 diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 di Pemekasan Madura, dengan nama pesantren Jan Tampes II. Akan tetapi hal ini juga diragukan, karena tentunya ada pesantren Jan Tampes I yang lebih tua.

Pendapat lain mengatakan bahwa pesantren telah tumbuh sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, sementara yang lain berpendapat bahwa pesantren baru muncul pada masa Walisongo dan Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai orang pertama mendirikan pesantren. Apabila ditelusuri sejarah pendidikan di Jawa, sebelum datangnya agama Islam telah ada lembaga pendidikan Jawa Kuno yang praktik kependidikannya sama dengan pesantren. Lembaga pendidikan Jawa Kuno itu bernama pawiyatan, di lembaga tersebut tinggal Ki Hajar dengan Cantrik. Ki Hajar orang yang mengajar dan Cantrik orang yang diajar. Kedua kelompok ini tinggal di satu komplek dan di sini terjadilah proses belajar mengajar.

Sugarda Poerbakawatja telah meneliti bahwa pesantren lebih mirip lembaga pendidikan Hindu ketimbang pendidikan Arab, karena memang awalnya lembaga ini merupakan lembaga pendidikan agama Hindu. Hanya saja filosofinya dirubah ketika masyarakat Islam mulai menguasai lembaga pendidikan ini.

Dengan masuknya Islam, maka sekaligus diperlukan sarana pendidikan, tentu saja model pawiyatan ini dijadikan acuan dengan mengubah sistem yang ada ke sistem pendidikan Islam. Inti dari pesantren itu adalah pendidikan ilmu agama, dan sikap beragama. Karenanya mata pelajaran yang diajarkan semata-mata pelajaran agama. Pada tingkat dasar anak didik baru diperkenalkan tentang dasar agama, dan Al-Qur’an Al-Karim. Setelah berlangsung beberapa lama pada saat anak didik telah memiliki kecerdasan tertentu, maka mulailah diajarkan kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik ini juga diklasifikasikan kepada tingkat dasar, menengah dan tinggi. Mahmud Yunus membagi pesantren pada tahap-tahap awal iru kepada empat tingkatan, yaitu: tingkat dasar, menengah, tinggi, dan takhassun. Sejak awal pertumbuhannya, fungsi utama pondok pesantren adalah: (1) menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih dikenal dengan tafaqquh fiddin, yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat Islam. Kemudian diikuti dengan tugas (2) dakwah menyebarkan agama Islam dan (3) benteng pertahanan mata dalam bidang akhlak. Sejalan dengan fungsi hal ini, materi yang diajarkan dalam pondok pesantren  semuanya terdiri dari materi agama yang diambil dari kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab.

Setelah datangnya kaum penjajah Barat (Belanda), peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam semakin kokoh pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang reaksional terhadap penjajah. Karena itu, di zaman Belanda sangat kontras sekali pendidikan di pesantren dengan pendidikan di sekolah-sekolah umum. Pesantren semata-mata mengajarkan ilmu-ilmu agama sekali tidak semata-mata mengajarkan ilmu-ilmu agama lewat kitab-kitab klasik, sedangkan sekolah umum Belanda sama sekali tidak mengajar pendidikan agama. Sistem pendidikan pesantren metode, sarana fasilitas serta yang lainya masuk sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah Kolonial Belanda, Non Klasikal, metodenya sorongan, watonan hafalan.

Kemudian, mengikuti hipotesa Steenbrink (1986) yang mengatakan bahwa sejak permulaan abad ke-20 telah terjadi perubahan besar dalam pendidikan Islam Indonesia atau pesantren. Perbahan, atau lebih tepatnya pergeseran, ini terjadi karena beberapa faktor. pertama, kolonialisme dan sistem pendidikan liberal. Propaganda sistem pendidikan liberal yang diusung Belanda tentu saja berdampak pada sistem pendidikan pesantren. Kedua, orientasi keilmuan pendidikan pesantren. Tidak seperti pada abad ke XVI-XVIII, orientasi keilmiah pesantren abad XX tidak lagi terpusat ke Hijaz melainkan merambah ke wilayah Timur Tengah lainnya, semisalnya Mesir, Baghdad, atau bahkan ke Eropa. Ketiga, munculnya gerakan pembaharuan di dunia Islam, yang mengkritik eksistensi pesantren yang dikatakan sebagai lembaga pendidikan yang masih terbelakang hanya mengajarkan ilmu agama saja.

Dalam perkembangan berikutnya pesantren mengalami dinamika, kemampuan dan kesediaan pesantren untuk mengadopsi nilai-nilai baru akibat modernisasi, menjadi pesantren berkembang dari yang tradisional ke moderatan. Karena itu hingga saat sekarang pesantren tersebut dibagi dua secara garis besar. Pertama pesantren salafi dan yang kedua khalafi. Pesantren salafi adalah pesantren yang masih terikat dengan sistem dan pola lama, sedangkan pesantren khalafi adalah pesantren yang telah menerima unsur-unsur pembaruan.

Walaupun pada masa penjajahan, pondok pesantren mendapat tekanan dari pemerintah colonial Belanda, pondok pesantren masih bertahan terus dan tetap tegak berdiri, walaupun sebagian besar berada daerah pedesaan. Peranan mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa tetap diembannya telah banyak kader-kader bangsa dan tokoh-tokoh perjuangan nasional dilahirkan oleh pesantren. Bahkan pada masa masa perjuangan kemerdekaan, banyak tokoh pejuang dan pahlawan-pahlawan kemerdekaan yang berasal dari pesantren. Demikian besar peran pesantren dalam melahirkan tokoh agama, ulama dan intelektual muslim sampai saat ini.



Pengertian Surau dan Tradisi Keilmuan Surau

Salam cerdas…..

a.   Pengertian
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, surau diartikan tempat (rumah) umat Islam melakukan ibadahnya (bersembahyang, mengaji dan sebagainya). Pengertian ini apabila dirinci mempunyai arti bahwa surau berarti suatu tempat bangunan kecil untuk tempat shalat, tempa belajar mengaji anak-anak, tempat wirid (pengajian agama) bagi orang dewasa. Christine Dobbon memberikan pengertian bahwa surau adalah rumah yang didiami para pemuda setelah akil baligh, terpisah dari rumah keluarganya yang menjadi tempat tinggal wanita dan anak-anak. Dengan demikian, surau memiliki fungsi pendidikan dan fungsi sosial khususnya untuk tempat menginap bagi anak-anak dan pemuda yang terpisah dari orang tua mereka.

b.   Tradisi Keilmuan
Perkataan surau menyebar luar di Indonesia dan Malaysia, yang dalam kehidupan keseharian adalah suatu bangunan kecil yang penggunaan utamanya untuk shalat berjamaah bagi masyarakat sekitar. Di Sumatera Barat, Surau tidak hanya mempunyai fungsi pendidikan dan ibadah, tetapi hanya juga mempunyai fungsi budaya. Surau diperkirakan telah ada sebelum Islam datang ke Sumatera Barat. Hanya berfungsi sebagai aplikasi dari budaya mereka. Surau dalam sistem adat budaya masyarakat kepunyaan kaum, suku. Selanjutnya setelah Islam masuk, maka dilaksanakan proses Islamisasi dalam segala aspek, termasuk lembaga-lembaga budaya. Hal yang serupa juga diberlakukan terhadap pesantren.

Di samping sebagai tempat pertemuan dan tempat tidur, surau menjadi tempat untuk mempelajari ajaran Islam, membaca Al-Qur’an dan tempat salat. Manakala menjadi tempa shalat di awal perkembangan Islam, surau telah berfungsi menjadi masjid kecil. Dalam rentang waktu perkembangan selanjutnya, antara surau dan mesjid dibangun dua tempat yang berbeda. Mesjid dijadikan sebagai tepat yang hanya untuk peribadatan belaka, seperti shalat lima waktu, salat Jum’at dan salat dua hari raya. Di sisi lain, surau berfungsi sebagai tempat asrama bagi pemuda dan tempat belajar membaca Al-Qur’an dan pengetahuan agama, untuk perkaik ritual keagamaan suluk, dan empat-tempat orang berkumpul untuk berbagai pertemuan.

Dipandang dari budaya, keberadaan surau sebagai perwujudan dari budaya Minangkabau yang matriachad. Anak laki-laki yang sudah akil baligh, tidak lagi layak tinggi di rumah orang tuanya, sebab saudara-saudara perempuannya akan kawin dan di rumah itu akan dengan lelaki lain yang menjadi suami dari saudara perempuannya. Karena itu mereka harus tinggal surau. Dengan tinggalnya mereka di surau, hal ini merupakan satu bagian dari praktik budaya masyarakat Minangkabau. Selain dari fungsi budaya itu, surau juga mempunyai fungsi pendidikan dan agama. Fungsi pendidikan adalah dilaksanakannya di surau transfer ilmu, nilai dan keterampilan. Di surau dilaksanakan pendidikan Al-Qur’an, diajarkan prinsip-prinsip agama Islam baik yang berkenaan dengan rukun iman maupun rukun Islam. Selain dari itu juga, surau juga berfungsi untuk tempat pendidikan orang dewasa. Di surau dilaksanakan juga pendidikan sufi dengan terekatnya. Surau berfungsi sebagai lembaga sosial budaya, adalah fungsinya sebagai tempat pertemanan para pemuda dalam upaya memsosialisasikan diri mereka. Selain dari itu surau juga berfungsi sebagai tempat persinggahan dan peristirahatan para musafir yang sedang menempuh perjalanan. Dengan demikian surau mempunyai multifungsi.

Verkerk Pistorius, seorang pegawai Belanda, dalam rangka kunjungan ke Sumatera Barat, yang dikutip oleh Azyumardi Azra, menjelaskan bahwa surau dibagi kepada tiga kategori. Pertama surau kecil, menengah dan suara besar. Surau kecil memuat sekitar 20 pelajar. Surau menengah, berisi 80 pelajar, dan surau besar berkisar 100 sampai 1000 pelajar. Surau kecil, suara untuk mengaji (membaca Al-Qur’an), dan tempat shalat, sedangkan surau menengah dan besar tidak hanya sebagai tempat shalat dan mengaji, tetapi mempunyai fungsi pendidikan dalam arti yang lebih luas.

Sistem pendidikan di surau banyak kemiripannya dengan sistem pendidikan di pesantren. Murid tidak terikat dengan sistem administrasi yang ketat, syekh atau guru mengajar dengan metode bandongan dan sorongan, ada juga murid yang berpindah ke surau lain apabila dia sudah merasa cukup memperoleh ilmu di surau terdahulu. Dari segi mata pelajaran yang diajarkan di surau sebelum masuknya ide-ide pembaruan pemikiran Islam pada awal abad ke-20 adalah mata pelajaran agama yang berbasis kepada kitab-kitab klasik.

Surau sebagaimana layaknya pesantren juga memiliki kekhususan-kekhususan, ada surau yang kekhususan dalam ilmu alat, seperti Surau Kamang, ada spesialis ilmu mantik, ma’ani, surau Kota Gedang, dalam ilmu tafir, dan faraid, surau Sumanik, sedangkan surau Talang spesialis dalam ilmu nahu. Surau sebagai tempat prakik sufi atau tarekat bukanlah sesuatu yang aneh, sebab surau pertama yang dibangun di Minangkabau oleh Burhanuddin Ulakan adalah untuk mempraktikkan ajaran tarekat di kalangan masyarakat Minangkabau, khususnya pengikut Syekh Burhanuddin Ulakan.

Surau Ulakan seperti yang ditulis oleh Azyumardi Azra, adalah merupakan pusat tarekat, murid-murid yang belajar di surau Ulakan itu, membangun pula surau-surau di tempat lain yang mencontoh model surau Ulakan itu sendiri, yang merupakan prototype dari surau tarekat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa surau, sebagaimana juga meunasah yang ada di Aceh merupakan lembaga pendidikan yang juga berfungsi sebagai wadah sosial bagi masyarakat Sumatera Barat.



Pengertian Meunasah dan Fungsi Meunasah

Salam cerdas…..

a.   Pengertian
Secara etimologi meunasah berasal dari perkataan madrasah, tempat belajar atau sekolah. Ditinjau dari segi pendidikan, meunasah adalah lembaga pendidikan awal bagi anak-anak yang dapat disamakan dengan tingkat sekolah dasar. Di meunasah, para murid diajar menulis/membaca huruf Arab, ilmu agama dalam bahasa Jawi (melayu), akhlak. Untuk itu, meunasah merupakan lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu agama.

b.   Tradisi Keilmuan
Meunasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang terdapat di Aceh, demikian fakta-fakta sejarah yang ditemukan oleh peneliti sejarah pendidikan Islam. Maka pada dasarnya, meunasah memiliki multifungsi bagi masyarakat Aceh, yaitu tidak hanya tempat belajar bagi anak-anak, tetapi juga berfungsi sebagai (1) Lambang dari kesatuan masyarakat Aceh, (2) Pusat penyiaran berita untuk warga, (3) Balai gampong (kampung), (4) Tempat musyawarah seluruh warga gampong, (5) Tempat pejabat-pejabat gampong memutuskan dan memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, (6) Tempat warga gampong tidur malam hari dan (7) Tempat tadarus Al-Qur’an serta (8) Tempar perayaan dan kenduri massal dalam kampung, seperti maulid Nabi Muhammad SAW., Nazulul Qur’an dan Isra’ Mi’raj. Dengan melihat fungsinya yang begitu banyak, maka dapat dibayangkan meunasah pada awal perkembangannya merupakan lembaga sosial dan pendidikan bagi masyarakat Islam Aceh yang demikian strategi, Karena sebagai pemersatu masyarakat Islam, di samping sebagai lembaga edukatif.

Meunasah dipimpin oleh seorang tengku, yang di Aceh besar disebut tengku meunasah. Tengku meunasah bertugas untuk membina agama di suatu tempat tertentu. Ia memiliki tugas-tugas keagamaan, di antara lain, (1) Mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an, (2) Menjadi imam shalat, (3) Mengurus jenazah, (4) Memimpin do’a pada kenduri-kenduri di wilayahnya, (5) Menyembelih hewan, (6) Mengurus masalah pernikahan, (7) Mengurus kegiatan-kegiatan Ramadhan, seperti mempersiapkan berbuka puasa bersama di meunasah, dan lain-lain. Itu berarti tengku meunasah sama juga penyebutannya bagi seorang kiyai yang memimpin pesantren.



Keterkaitan Masjid Kuttab dan Kuttab

Salam cerdas.....

Di masa Nabi Muhammad SAW ataupun di masa sesudahnya masjid menjadi pusat atau sentral kegiatan kaum muslimin, kegiatan dibidang pemerintahan pun mencakup ideologi, politik, ekonomi, sosial, peradilan, dan kemiliteran dibahas dan dipecahkan dilembaga masjid, masjid berfungsi pula sebagai pusat pengembangan kebudayaan Islam, terutama saat-saat gedung khusus belum didirikan, masjid juga ajang pengetahuan agama ataupun umum.

Sebagai umat muslim, dimana semua mengetahui bahwa fungsi utama masjid adalah tempat sujud, tempat beribadah kepada Allah SWT. Ataupun tempat melakukan amalan-amalan sunah lainnya. Disamping itu juga masjid juga berfungsi sebagai tempat untuk memperingati hari besar Islam seperti peringatan maulid nabi SAW, peringatan isra’ dan mi’raj dan lain sebagainya. Dengan kata lain masjid dijadikan tempat semua kegiatan yang bertujuan untuk meninggikan syi’ar Islam dalam hal ini termasuk juga pembinaan pendidikan agama.

Dikarenakan banyak anak yang kurang memperhatikan kebersihan dari najis dan kotoran-kotoran yang menajiskan, banyak orang menganjurkan agar pelajaran kepada anak-anak tidak diberikan di dalam masjid, sebaiknya mereka menggunakan tempat-tempat belajar di pinggir jalan dan di samping pasar. Karena ada larangan untuk menjadikan masjid sebagai tempat belajar itu, karena menggunakan ruangan-ruangan yang berhubungan dengan masjid atau salah satu kamar di dalam masjid sebagai tempat mengajar anak-anak. Hal ini mendorong munculnya niat untuk membuat kuttab khusus untuk anak-anak. Adanya istilah kuttab dalam literatur Islam awal menunjukkan bahwa institusi ini telah ada sejak abad pertama Islam. Siswa-siswanya berasal dari berbagai lapisan sosial ekonomi, baik dari orang yang merdeka maupun budak.

Kuttab sering kali dianggap sebagai sekolah tingkat dasar. Dan memang kenyataannya, pendidikan anak-anak dimulai dari maktab. Di samping sebagai sekolah dasar dan menengah dalam perkembangnya, lembaga ini berfungsi sebagai perguruan tinggi, tempat para alumni dalam melanjutkan pendidikan secara otodidak, mengabdi kepada seorang guru.

Dalam Eksilopedia Islam 3, dikutip Suwito dan Fauzan, bahwa Kuttab dalam bentuk awalnya hanya berupa ruangan di rumah seorang guru, karena kondisinya yang tidak memungkinkan maka para guru dan orang tua mencari tempat lain yang lebih lapang, yaitu sudut-sudut masjid (bilik-bilik yang berhubungan dengan masjid). Selain dari kuttab-kuttab yang diadakan di masjid terdapat pula kuttab-kuttab umum dalam bentuk madrasah yang mempunyai gedung sendiri dan dapat menampung ribuan murid.

Melalui kuttab, pendidikan Islam telah diajarkan secara klasikal dimana ada pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi, meskipun kurikulumnya belum teratur dan kompleks seperti yang terdapat saat ini, namun telah ada perkembangan yang berarti dibandingkan pendidikan di masjid.



Eksistensi Kuttab dalam Sistem Pendidikan Islam

Salam cerdas.....

Kuttab atau maktab, berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Jadi katab adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya Islam Kuttab telah ada di negeri Arab, walaupun belum banyak dikenal. Di antara penduduk Makkah yang mula-mula belajar menulis huruf Arab ialah Sufyan Ibnu Umaiyah Ibnu Abdu Syams, dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf Zuhroh Ibnu Kilat. Keduanya mempelajarinya di negeri Hirah. Karena tulis baca semakin terasa perlu, maka kuttab sebagai tempat belajar menulis dan membaca, terutama bagi anak-anak, berkembang dengan pesat. Pada mulanya, di awal perkembangan Islam, kuttab tersebut dilaksanakan di rumah guru-guru yang bersangkutan, dan yang diajarkan adalah semata-mata menulis dan membaca. Sedangkan yang ditulis/dibaca adalah syair-syair yang terkenal pada masanya.

Dalam hal ini, Ahmad Syalabi dalam Sejarah Pendidikan Islam, memberikan penjelasan sebagai berikut: “Bahwa mengajarkan menulis dan membaca dewasa itu adalah salah satu dari pekerjaan kaum Zimmi dan tawanan-tawanan Perang Badar. Orang-orang itu tentu saja tidak ada hubungannya dengan Al-Qur’an al-Karim, juga dengan agama Islam. Zaman ini disambung lagi dengan zaman yang datang kemudian yang juga di masa itu pekerjaan mengajarkan, menuliskan dan membaca itu adalah dikenal  sebagai pekerjaan kaum Zimmi. Adapaun kaum muslimin yang telah belajar menulis dan membaca, banyak pekerjaan-pekerjaan yang lebih penting memerlukan tenaga mereka.

Para sahabat yang bertugas sebagai guru di surau tersebut ialah Abdullah bin Rawalah, Ubaidah bin Samit dan Abu Ubaidah Al-Jarrah. Mata pelajarannya tersebut Al-Qur’an, dasar-dasar Islam, seni khat, sejarah, menunggang kuda, memanah, dan bahasa asing. Tegasnya pengetahuan yang diberi meliputi pendidikan rohani dan jasmani yang menjadi keperluan individu dan masyarakat.

Di antara lulusan lembaga awal sekali itu, yaitu zaman Rasulullah SAW adalah para sahabat Nabi yang terkenal luas ilmunya seperti Ali bin Abi Talib, Umar bin Kahttab, Anas bin Malik, Mu’az bin Jabal, Abu Hurairah, Abudullah bin ‘Amr bin Al-‘As, Zaid bin Tsabit, Abu al-Darda, Abu Sa’id al-Khudari, Abu Musa Al-Asy’ari, ‘Airsyah Ra dan lain-lain bagi sahabat Nabi SAW yang mencapai tahap tertinggi sekali dalam ilmu-ilmu syariah. Sebagian sahabat terkenal dengan ilmu-ilmu tertentu, walaupun secara keseluruhan menguasi ilmu-ilmu itu. Seperti ‘Abdullah bin Abbas terkenal sebagai lautan dalam ilmu Tafsir, Abu Ka’ab dalam ilmu qiraat, Ali bin Abi Thalib dalam ilmu fiqh dan qada, Mu’az bin Jaball dalam hal-hal yang mengenai halal dan haram, Zaid bin Tsabit dalam ilmu faraid dan pembagian pusaka, Anas bin Malik dan Abu Hurairah dalam meriwayatkan hadits, dan lain-lain lagi. Merekalah yang merupakan linchting pertama (first batch)( dari madrasah Rasulullah Saw di Makkah dan Madinah yang membawa panji-panji ilmu sesudah Rasulullah SAW wafat. Tidak perlu disebutkan pengaruh mereka dalam perkembangan Islam sesudah Rasulullah wafat.

Di zaman khulafaurrasyidin, sahabat-sahabat Nabi SAW tersebut terus melanjutkan peranannya yang selama ini mereka pegang. Tetapi pada zaman ini muncul kelompok tabi’in yang berguru pada lulusan-lulusan pertama itu. Di antara yang paling terkenal di Madinah adalah Rabi’ah al-Raayi yang membuka pertemuan ilmiah di Masjid Nabawi di Madinah. Di antara murid-muridnya adalah Malik bin Anas al-Asbahi pengarang kitab: al-Muwatta dan pendiri Mazhab Malik. Di antara ulama-ulama tabi’in adalah Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin al-Zubair, Salim Mawla bin Umar dan lain-lain. Di antara yang belajar pada Ibn Abbas adalah Mujahid (w. 103 H) Sa’id bin Jubair (w, 94 H)., Ikrimah Mawlah ibn Abbas,  Tawus al-Yammani, Ata bin Abi Rabah, semunya di Mekkah. Di antara tabi’in itu juga adalah Al-Hasan Al-Basri yang belajar pada Rabi’ah al-Ray di Medinah, kemudian kembali di Basrah yang dikunjungi oleh penuntut-penutut ilmu daerah seluruh pelosok negeri Islam. Di antara murid-muridnya di Basrah adalah Wasil bin ‘Ata dan ‘Amr bib ‘Ubaid yang mengucilkannya kemudian sebab perbedaan pendapat tentang orang-orang yang berdosa besar. Setelah Islam berkembang secara pesat, maka kuttab menjadi lembaga pendidikan Islam yang digunakan dan dikelola umat Islam.



Thursday, December 8, 2016

Eksistensi Masjid dalam Sistem Pendidikan Islam

Salam cerdas.....

“Masjid adalah suatu tempat yang berfungsi untuk melakukan ritual ibadah dan kegiatan lainnya oleh umat Islam yang telah dikhususkan konsepnya.” Masjid di samping sebagai tempat beribadah umat Islam dalam arti khusus (mahdhoh) juga merupakan tempat beribadah secara luas, selama dilakukan dalam batas-batas syari’ah. Pada masa raululullah SAW, di samping berfungsi sebagai tempat shalat berjamaah masjid juga memiliki fungsi sosial.

“Majid dalam dunia Islam, sepanjang sejarahnya tetap memegang peranan pokok, disamping fungsinya tempat berkomunikasi dengan tuhan, juga sebagai lembaga pendidikan dan pusat komunikasi sesama kaum muslimin.”

Masjid yang dimaksud di sini adalah sebuah bangunan yang lengkap dengan sarana dan prasarananya yang dapat dipergunakan untuk mengerjakan shalat, baik sendirian atau berjama’ah, baik yang fardhu atau pun yang sunah terlebih lagi shalat jum’at, bahkan terlebih dari itu. Allah memberi perintah tersendiri kepada hambanya untuk tidak menyia-nyiakan masjid, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an:Artinya: 


“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS; 9: 18).

Kondisi aktivitas persekolahan baru mengalami perubahan yang berarti ketika Islam lahir. Bagi bangsa Arab, masjid merupakan sekolah pertama yang bersifat umum dan sistematis. Di masjidlah anak-anak dan orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, menuntut ilmu.

Dengan demikian, masjid tetap difungsikan untuk dua kepentingan yang satu sama lain saling menunjang dan saling menyempurnakan hingga datang masa kekhalifahan Umar bin Khuttab yang membangun tempat khusus untuk menuntut ilmu anak-anak, di sudut-sudut masjid. Masjid menjadi pusat pengajian di dalamnya terdapat kelompok-kelompok studi. negara memberikan gaji kepada ulama yang menyelenggarakan halaqah tersebut. Para ulama mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu fiqh, hadts, tafsir, atau ilmu nahwu.

Penghijrahan Rasulullah SAW ke Madinah pada tahun 622 M, membawa perubahan dan pengertian yang besar terhadap penyebaran dan kestabilah agama Islam. Bagian tujuan tersebut masjid mulai didirikan di Madinah seperti Masjid Quba dan Masjid Nabawi. Fungsi masjid menurut istilah Islam adalah sebagai markas, bagi segala aktivitas agama dan masyarakat, khususnya dalam hal-hal yang berhubung dengan ibadat dan pendidikan. Rasulullah SAW menjadikan Masjid Nabawi sebagai tempat belajar mengenai urusan dunia dan agama di samping beribadat. Situasi di masjid menjadikannya lebih bebas dan sesuai sebagai tempat belajar dari pada di rumah karena di masjid, seorang itu tidak perlu meminta kebenaran untuk memasukinya jika dibandingan dengan rumah.

Amalan Rasulullah SAW ini diikuti oleh para sahabat dan pengikut-pengikutnya dan juga kaum muslimin kemudiannya. Semakin berkembang negara Islam semakin banyak pula masjid dirikan untuk memainkan peranan yang penting dalam masyarakat. Pada masa pemerintahan Umar bin al-Khattab, negeri Persi, Syam, Mesir dan seluruh semenanjung tanah Arab ditaklukkan. Masjid-masjid didirikan di semua kampung sebagai tempat ibadat dan pusat pendidikan Islam. Setelah Rasulullah SAW wafat,  beberapa orang sahabat baginda meneruskan tugas menyampaikan pengetahuan Islam kepala kaum muslimin secara sukarela. Di antaranya ialah Abdullah bin Umar, Zaid bin Thabit, Jabir bin Abdullah dan Siti A’isyah mengajar di masjid Madinah; Abdullah bin Abbas di Masjid Mekkah; Abdullah bin Mas’ud dan Darda’ di masjid Damsyik. Sampai saat ini, masjid menjadi media dakwah dan pendidikan bagi umat Islam.

Hakikat Lembaga Atau Sistem Pendidikan Islam

Salam cerdas.....

Lembaga pendidikan, yaitu suatu sistem peraturan yang bersifat mujarrad, suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma, ideologi-ideologi dan sebagainya, baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik; kelompok manusia yang terdiri dari individu-individu yang dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan atau memenuhi fungsi tertentu dan tempat-tempat kelompok itu melaksanakan peraturan itu, seperti masjid, sekolah kuttab dan lain-lain. Ada penulis berpendapat bahwa hanya komponen pertama saja, yaitu peraturan-peraturan dalam kasus pendidikan Islam adalah syari’at Islam, yang boleh disebut lembaga (institusion), sedang dua yang terakhir itu hanyalah disebut asosiasi. Dalam tulisan ini yang dimaksud lembaga mencakup tiga komponen itu kecuali kalau ditegaskan bahwa yang dimaksudkan hanya salah satu komponen itu saja. Dalam percakapan sehari-hari kadang-kadang kita sebut lembaga, padahal sebenarnya hanyalah tempat seperti masjid, kuttab, dan madrasah saja.

Memang yang pertama sekali nampak bila disebut lembaga adalah tempat seperti masjid, kuttab, dan madrasah tempat lembaga (yaitu syari’at) yang bersifat mujarrad beroperasi, sebab itulah yang disaksikan oleh mata kepala dan tidak berubah setiap saat. Walaupun komponen manusia yang melaksanakan lembaga itu juga sifatnya konkrit, tetapi ia tidak kekal, dan bentuk dan volumenya selalu berubah. Maka dapat dimengerti orang lebih mudah mencapai masjid, misalnya, sebagai lembaga dari pada syari’at yang dijalankan dalam lembaga itu. Untuk itu, lembaga pendidikan di sini bukan hanya fasilitas fisik saja sebagaimana yang banyak dipahami kita saat. 



Definisi Pendidikan Islam

Salam cerdas.....

M. Arifin misalnya, mendefenisikan pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita ajaran Islam, karena nilai-nilai ajaran Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya (peserta didik). Ahmad D. Marimba mendefenisikan Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian yang utama menurut ukuran-ukuran Islam.

Pendidikan Islam merupakan suatu sistem pembinaan baik fisik maupun mental yang harus sesuai dengan cita-cita Islam sebagai sebuah agama. Kesesuaian ini mengharuskan agar agama Islam dapat dijadikan kerangka acuan yang harus mendasari pendidikan Islam dalam tingkat praktisnya (pelaksanaannya). Pendidikan Islam sangat memegang peranan penting dari tujuan hidup yang hendak dicapai oleh seorang muslim agar selamat menempuh kehidupan dunia dan akhirat. Untuk melaksanakan peranannya yang ideal, maka suatu lembaga sangat dibutuhkan dalam melaksanakan pendidikan Islam. Untuk itulah sejak masa Nabi Muhammad SAW, lembaga pendidikan islam ini telah ada, mulai tumbuh dan berkembang hingga sekarang ini.



Solusi Problematika Pendidikan Agama Islam dalam Dunia Globalisasi

Salam cerdas…..

Hakikat pendidikan Islam ialah untuk membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya, baik jasmani maupun rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak didik nantinya yang didasarkan pada hukum-hukum islam. Sedangkan hakikat dari Globalisasi bukan sekedar banjir barang, melainkan akan melibatkan aspek yang lebih luas, mulai dari keuangan, pemilikan modal, pasar, teknologi, daya hidup, bentuk pemerintahan, sampai kepada bentuk-bentuk kesadaran manusia.

Problematika Pendidikan Islam di era global ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal yang didalmnya ada : Relasi Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam, Masalah Kurikulum, Pendekatan/Metode Pembelajaran, Profesionalitas dan Kualitas SDM, dan Biaya Pendidikan. Dan faktor eksternal yang meliputi Dichotomic, To General Knowledge, Lack of Spirit of Inquiry, Memorisasi, dan Certificate Oriented.

Solusi dari problematika tesebut ialah pendidikan Islam harus dikembalikan kepada fitrahnya dengan tanpa mengesampingkan dimensi-dimensi penting lainnya yang harus dikembangkan dalam institusi pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal. 

Pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Pendidikan Islam di Era Global ini diorientasikan bahwa Pendidikan Islam sebagai proses penyadaran, sebagai proses humanisasi, dan sebagai pembinaan akhlak al-karimah.

Oleh : Jelit

Analisis Kebijakan Pendidikan Agama Islam dalam Dunia Globalisasi

Salam cerdas…..

Era globalisasi dapat dipahami sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya penyatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, informasi dan lain sebagainya, yang terjadi antara satu negara dengan negara lainnya, tanpa menghilangkan identitas negara masing-masing. Penyatuan ini terjadi berkat kemajuan teknologi informasi (TI) yang dapat menghubungkan atau mengkomunikasikan setiap issu yang ada pada suatu negara dengan negara lain.

Bagi ummat Islam, era globalisasi dalam arti menjalin hubungan, tukar menukar dan transmisi ilmu pengetahuan, budaya dan sebagainya sebagaimana tersebut di atas, sesungguhnya bukanlah hal baru. Globalisasi dalam arti yang demikian, bagi ummat Islam, merupakan hal biasa. Di zaman klasik (abad ke-6 sd 13 M.) ummat Islam telah membangun hubungan dan komunikasi yang intens dan efektif dengan berbagai pusat peradaban dan ilmu pengetahuan yang ada di dunia, seperti India, China, Persia, Romawi, Yunani dan sebagainya. Hasil dari komunikasi ini ummat Islam telah mencapai kejayaan, bukan hanya dalam bidang ilmu agama Islam, melainkan dalam bidang ilmu pengetahuan umum, kebudayaan dan peradaban, yang warisannya masih dapat dijumpai hingga saat ini, seperti di India, Spanyol, Persia, Turki dan sebagainya.

Selanjutnya di zaman pertengahan (abad ke 13-18 M.) ummat Islam telah membangun hubungan dengan Eropa dan Barat. Pada saat itu ummat Islam memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa dan Barat. Beberapa penulis Barat seperti W.C.Smith, dan Thomas W. Arnold misalnya, mengakui bahwa kemajuan yang dicapai dunia Eropa dan Barat saat ini karena sumbangan dari kemajuan Islam. Mereka telah mengadopsi ilmu pengetahuan dan peradaban Islam tanpa harus menjadi orang Islam.

Pada zaman pertengahan itu, ummat Islam hanya mementingkan ilmu agama saja. Sementara ilmu pengetahuan seperti matematika, astronomi, sosiologi, kedokteran dan lainnya tidak dipentingkan, bahkan dibiarkan untuk diambil oleh Erofa dan Barat. Pada zaman ini Eropa dan Barat mulai bangkit mencapai kemajuan, sementara ummat Islam berada dalam keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban.

Di zaman modern (abad ke-19 sampai dengan sekarang) hubungan Islam dengan dunia Eropa dan Barat terjadi lagi. Pada zaman ini timbul kesadaran dari ummat Islam untuk membangun kembali kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan peradaban melalui berbagai lembaga pendidikan, pengkajian dan penelitian. Ummat Islam mulai mempelajari kembali berbagai kemajuan yang dicapai oleh Eropa dan Barat, dengan alasan bahwa apa yang dipelajari dari Eropa dan Barat itu sesungguhnya mengambil kembali apa yang dahulu dimiliki ummat Islam.

Namun demikian, hubungan Islam dengan Eropa dan Barat dimana sekarang keadaannya sudah jauh berbeda dengan hubungan Islam pada zaman klasik dan pertengahan sebagaimana tersebut di atas. Di zaman klasik dan pertengahan ummat Islam dalam keadaan maju atau hampir menurun, sedangkan keadaan Eropa dan Barat dalam keadaan terbelakang atau mulai bangkit. Keadaan Eropa dan Barat saat ini berada dalam kemajuan, sedangkan keadaan ummat Islam berada dalam ketertinggalan. Tidak hanya itu saja, keadaan dunia saat ini telah dipenuhi oleh berbagai paham ideologi yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam, seperti ideologi capitalisme, materialisme, naturalisme, pragmatisme, liberalisme bahkan ateisme yang secara keseluruhan hanya berpusat pada kemauan manusia (anthropocentris). Hal ini berbeda dengan karakteristik keseimbangan ajaran Islam yang memadukan antara berpusat pada manusia (anthropo-centris) dan berpusat pada Tuhan (theo-centris).

Tantangan pendidikan Islam saat ini jauh berbeda dengan tantangan pendidikan Islam sebagaimana yang terdapat pada zaman klasik dan pertengahan. Baik secara internal maupun eksternal tantangan pendidikan Islam di zaman klasik dan pertengahan cukup berat, namun secara psikologis dan ideologis lebih mudah diatasi. Secara internal ummat Islam pada masa masa klasik masih fresh (segar). Masa kehidupan mereka dengan sumber ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah masih dekat, dan semangat militansi dalam berjuang memajukan Islam juga masih amat kuat. Sedangkan secara eksternal, ummat Islam belum menghadapi ancaman yang serius dari negara-negara lain, mengingat keadaan negara-negara lain (Eropa dan Barat) masih belum bangkit dan maju seperti sekarang.

Tantangan pendidikan Islam di zaman sekarang selain menghadapi pertarungan ideologi-ideologi besar dunia sebagaimana tersebut di atas, juga menghadapi berbagai kecenderungan yang tak ubahnya seperti badai besar (turbulance) atau tsunami. Menurut Daniel Bell, di era globalisasi saat ini keadaan dunia ditandai oleh lima kecenderungan sebagai berikut:

Pertama, kecenderungan integrasi ekonomi yang menyebabkan terjadinya persaingan bebas dalam dunia pendidikan. Karena, dunia pendidikan menurut mereka juga termasuk yang diperjuangkan, maka dunia pendidikan saat ini juga dihadapkan pada logika bisnis. Munculnya konsep pendidikan yang berbasis pada sistem dan infra-struktur, manajemen berbasis mutu terpadu (TQM), interpreneur university dan lahirnya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) tidak lain, karena menempatkan pendidikan sebagai komoditi yang diperdagangkan. Penyelenggaraan pendidikan saat ini tidak hanya ditujukan untuk mencerdaskan bangsa, memberdayakan manusia atau mencetak manusia yang salih, melainkan untuk menghasilkan manusia-manusia yang economic minded, dan penyelenggaraannya untuk mendapatkan keuntungan material yang sebesar-besarnya.

Kedua, kecenderungan fragmentasi politik yang menyebabkan terjadinya peningkatan tuntutan dan harapan dari masyarakat. Mereka semakin membutuhkan perlakuan yang adil, demokratis, egaliter, transparan, akuntabel, cepat, tepat dan profesional. Mereka ingin dilayani dengan baik dan memuaskan. Kecenderungan ini terlihat dari adanya pengelolaan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah (shool based management), pemberian peluang kepada komite atau majelis sekolah/madrasah untuk ikut dalam perumusan kebijakan dan program pendidikan, pelayanan proses belajar mengajar yang lebih memberikan peluang dan kebebasan kepada peserta didik, yaitu model belajar mengajar yang partisipatif, aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAIKEM).

School Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah suatu reformasi sistem pengelolaan yang melibatkan desentrasilisasi bujet dan keputusan-keputusan tentang personil, kurikulum serta pengajaran.

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah keseluruhan proses perencanaan, mengorganisasikan, mengembangkan dan mengendalikan seluruh pendukung/pengguna (stakeholder) sekolah dan sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sekolah khususnya dan tujuan pendidikan umumnya. Manajemen Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada sekolah), memberikan flaksibelitas atau keluweasan kepada sekolah, mendorong partisipasi secara langsung dari warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha), meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntunan sekolah serta masyarakat yang ada. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntunan sekolah serta masyarakat yang ada. Melalui MBS dapat direncanakan, diorganisasikan, dikembangkan dan dikendalikan  semua potensi yang membawa kemajuan sekolah.

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah keseluruhan proses perencanaan, mengorganisasikan, mengembangkan dan mengendalikan seluruh pendukung/pengguna (stakeholder) sekolah dan sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sekolah khususnya dan tujuan pendidikan umumnya. Pemberlakuan otonomi daerah membawa implikasi terhadap perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan. Berangkat dari pengalaman empiris pendidikan Indonesia masa lalu, terlihat betapa pentingnya membangun konsensus dan komitmen atas otonomi daerah bidang pendidikan, bahkan sampai pada otonomi sekolah. Tampaknya akhir-akhir ini konsensus dan komitmen tersebut mulai terbentuk, sehingga menjadi peluang bagi implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

Dengan partisipasi melibatkan warga sekolah dan masyarakat secara aktif dalam menyelenggarakan sekolah, rasa memiliki terhadap sekolah dapat ditingkatkan. Jadi peningkatan rasa memiliki akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab. Peningkatan rasa tanggung jawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah dan masyarakat terhadap sekolah. Hal ini yang menjadi esensinya partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam pendidikan. Peran serta warga masyarakat telah diatur dalam suatu kelembagaan yang disebut dengan komite sekolah. Secara resmi keberadaan komite sekolah ditunjukkan melalui Surat Keputusan Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah menganut prinsip transparansi, akuntanbilitas dan demokrasi.

Komite sekolah diharapkan menjadi mitra sekolah yang dapat mewadahi dan menyalurakan aspirasi serta prakasa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di sekolah. Tugas dan fungsi komite sekolah antara lain mendorong tumbuhnya perhatian dan komite masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, mendorong orang tua dan masyarakat, berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan dan menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. 

Komite sekolah dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada sekolah tentang kebijakan dan program pendidikan secara rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah. Komite sekolah diharapkan berperan sebagai pendukung, memberi pertimbangan, mediator, dan mengontrol penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sistem MBS sekolah efektif dapat dikembangkan secara mandiri karena sekolah diberi kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar (otonomi) untuk mengelolah potensi sumber daya yang di miliki baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya, (uang, peralatan, perlengkapan, bahan, waktu dan sebagainya). Berbagai kebijakan sekolah hendaknya melibatkan bantuan dan permufakatan dari komite sekolah. Akan tetapi, setiap sekolah yang mempunyai komite sekolah, hendaknya selalu menjaga agar ada batas-batas yang tegas antara fungsi atau pekerjaan sekolah sebagai instansi pemerintah yang mempunyai hirarki sendiri, dan tugas kewajiban pengurus komite sekolah tersebut. 

Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang dinyatakan dalam GBHN. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, miso maupun mikro. MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan melibatkan masyarakat merupakan respon pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi antara lain diperoleh melalui keluesan mengelola sumber daya partisipasi masyarakat.

Ketiga, kecenderungan penggunaan teknologi tinggi (high technologie) khususnya teknologi komunikasi dan informasi (TKI) seperti komputer. Kehadiran TKI ini menyebabkan terjadinya tuntutan dari masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang lebih cepat, transparan, tidak dibatasi waktu dan tempat. Teknologi tinggi ini juga telah masuk ke dalam dunia pendidikan, seperti dalam pelayanan administrasi pendidikan, keuangan, proses belajar mengajar. Melalui TIK ini para peserta didik atau mahasiswa dapat melakukan pendaftaran kuliah atau mengikuti kegiatan belajar dari jarak jauh (distance learning). Sementara itu peran dan fungsi tenaga pendidik juga bergeser menjadi semacam fasilitator, katalisator, motivator, dan dinamisator. Peran pendidik saat ini tidak lagi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan (agen of knowledge). Keadaan ini pada gilirannya mengharuskan adanya model pengelolaan pendidikan yang berbasis teknologi informasi dan teknologi (TIK).

Keempat, kecenderungan interdependensi (kesaling-tergantungan), yaitu suatu keadaan di mana seseorang baru dapat memenuhi kebutuhannya apabila dibantu oleh orang lain. Berbagai siasat dan strategi yang dilakukan negara-negara maju untuk membuat negara-negara berkembang bergantung kepadanya demikian terjadi secara intensif. Berbagai kebijakan hegemoni politik seperti yang dilakukan Amerika Serikat misalnya, tidak terlepas dari upaya menciptakan ketergantungan negara sekutunya. Ketergantungan ini juga terjadi di dunia pendidikan. Adanya badan akreditasi pendidikan baik pada tingkat nasional maupun internasional, selain dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan, juga menunjukkan ketergantungan lembaga pendidikan terhadap pengakuan dari pihak eksternal. Demikian pula munculnya tuntutan dari masyarakat agar peserta didik memiliki keterampilan dan pengalaman praktis, menyebabkan dunia pendidikan membutuhkan atau tergantung pada peralatan praktikum dan magang. Selanjutnya kebutuhan lulusan pendidikan terhadap lapangan pekerjaannya, menyebabkan ia bergantung kepada kalangan pengguna lulusan.

Kelima, kecenderungan munculnya penjajahan baru dalam bidang kebudayaan (new colonization in culture) yang mengakibatkan terjadinya pola pikir (mindset) masyarakat pengguna pendidikan, yaitu dari yang semula mereka belajar dalam rangka meningkatkan kemampuan intelektual, moral, fisik dan psikisnya, berubah menjadi belajar untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang besar. Saat ini sebelum seseorang belajar atau masuk kuliah misalnya, terlebih dahulu bertanya: nanti setelah lulus bisa jadi apa? Dan berapa gajinya?. program-program studi yang tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan sendirinya akan terpinggirkan atau tidak diminati. Sedangkan program-program studi yang menawarkan pekerjaan dan penghasilan yang baik bagi lulusannya akan sangat diminati. 

Tidak hanya itu, kecenderungan penjajahan baru dalam bidang kebudayaan juga telah menyebabkan munculnya budaya pop atau budaya urban, yaitu budaya yang serba hedonistik, materialistik, rasional, ingin serba cepat, praktis, pragmatis dan instans. Kecenderungan budaya yang demikian itu menyebabkan ajaran agama yang bersifat normatif dan menjanjikan masa depan yang baik (di akhirat) kurang diminati. Mereka menuntut ajaran agama yang sesuai dengan budaya pop dan budaya urban. Dalam keadaan demikian, tidaklah mengherankan jika mata pelajaran agama yang disajikan secara normatif dan konvensional menjadi tidak menarik dan ketinggalan zaman. Keadaan ini mengharuskan para guru atau ahli agama untuk melakukan reformulasi, reaktulisasi, dan kontekstualisasi terhadap ajaran agama, sehingga ajaran agama tersebut akan terasa efektif dan transformatif.

Upaya memformulasikan kembali teori dan praktek pendidikan Islam segera dilakukan. Untuk itu pendidikan Islam harus kontekstual terhadap arus global, pada intinya menghilangkan batas pendidikan Islam yang dikotomik menuju pendidikan yang integralistik. Hal-hal yang perlu dilakukan pendidikan Islam antara lain:

a.   Mengharmoniskan kembali ayat-ayat ilahiyah dengan ayat-ayat kauniyah
b.   Islamisasi ilmu pengetahuan.
c. Mengharmoniskan kembali relasi Tuhan-manusia dalam bentuk pendidikan yang teo-antropo-sentris dengan titik tekan bahwa manusia itu makhluk Tuhan yang mulia.
d.   Mengharmoniskan antara iman dengan ilmu keduanya tidak boleh dipisahkan.
e. Mengharmoniskan antara pemenuhan kebutuhan rohani (spiritual-ukhrowi) dengan pemenuhan kebutuhan jasmani (material-duniawi)
f.    Mengharmoniskan antara wahyu dengan daya intelek (berfikir, kritis dan rasional)

Menurut Ahmad Tantowi[30], dengan adanya era globalisasi ini perlu adanya rumusan orientasi pendidikan Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Orientasi tersebut ialah sebagai berikut:

Pertama, Pendidikan Islam sebagai Proses Penyadaran. Pendidikan Islam harus diorientasikan untuk menciptakan “kesadaran kritis” masyarakat. Sehingga dengan kesadaran kritis ini akan mampu menganalisis hubungan faktor-faktor sosial dan kemudian mencarikan jalan keluarnya. Hubungan antara kesadaran tersebut dengan pendidikan Islam dan globalisasi ialah agar umat Islam bisa melihat secara kritis bahwa implikasi-implikasi dari globalisasi bukanlah sesuatu yang given atau takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan, akan tetapi sebagai konsekuensi logis dari sistem dan struktur globalisasi itu sendiri.

Kedua, Pendidikan Islam sebagai Proses Humanisasi. Proses Humanisasi dalam pendidikan Islam dimaksudkan sebagai upaya mengembangkan manusia sebagai makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang dengan segala potensi (fitrah) yang ada padanya. Manusia dapat dibesarkan (potensi jasmaninya) dan diberdayakan (ptoensi rohaninya) agar dapat berdiri sendiri dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ketiga, Pendidikan Islam sebagai Pembinaan Akhlak al-Karimah. Akhlak merupakan domain penting dalam kehidupan masyarakat, apalagi di era globalisasi ini. Tidak adanya akhlak dalam tata kehidupan masyarakat akan menyebabkan hancurnya masyarakat itu sendiri. Hal ini bisa diamati pada kondisi yang ada di negeri ini. Menurut Abuddin Nata, hal seperti ini pada awalnya hanya menerpa sebagian kecil elit politik (penguasa), tetapi kini ia telah menjalar kepada masyarakat luas, termasuk kalangan pelajar. Bagi pendidikan Islam, masalah pembinaan akhlak sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Sebab akhlak memang merupakan misi utama agama Islam. 

Hanya saja, akibat penetrasi budaya sekuler barat, belakangan ini masalah pembinaan akhlak dalam institusi pendidikan Islam tampak lemah. Untuk itu, pendidikan Islam harus dikembalikan kepada fitrahnya sebagai pembinaan akhlaq al-karimah, dengan tanpa mengesampingkan dimensi-dimensi penting lainnya yang harus dikembangkan dalam institusi pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal. Pembinaan akhlak sebagai (salah satu) orientasi pendidikan Islam di era globalisasi ini adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Sebab eksis tidaknya suatu bangsa sangat ditentukan oleh akhlak masyarakatnya.